Mentari Di Atas Tanah Kupang
Matahari bersinar dengan ganas
Hamparan langit semua berwarna biru
Tidak ada awan yang menutupi teriknya
Rembulan membawa angin dingin di malam hari
Kota karang, kota beta, kota sonde,
Kota sektor perdagangan bagi perantau
Bugis, Makassar, Jawa, Bima, Ende, Manggarai semuanya ada di sini
Hampir kita tidak mengenali Kupang
Siapa nenek moyangnya
Sebagian besar nenek moyang berasal dari perantau
Bahkan perantau turut andil memakmurkan Kupang
Lalu, ke manakah penduduk aslinya?
Oh, mereka ada
Mereka duduk di pinggir jalan dengan bibir merah
Bibir mereka merah bukan karena disiksa oleh majikannya,
Bukan karena memakai lipstik,
Bukan karena penjilat
Bukan karena berdarah
Bukan karena sariawan
Melainkan kunyahan pinang tiap hari sehingga membekas, berwarna merah
semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
Duduk dengan manis menjual pinang sambil mengunyah pinang tiada hentinya
Mereka adalah pengonsumsi pinang
Jadi, ketika kita hendak membeli pinang
Maka tempatnya ada di penduduk asli Kupang, NTT
Tempatnya bukan di daaerah perantau
Perantau hanya duduk manis mengawasi bawahannya
Tadi malam dingin datang menyentuh Kota Kupang membuat orang-orang harus memakai penghangat tapi berlega hati. Siang hari terik panas Kupang amat menyengat. Sawah tadah hujan kering kerontang. Tanah retak-retak. Hamparannya bergitu nampak, begitu musim hujan tiba, maka kesempatan emas datang. Tanah yang awalnya gersang akan ditumbuhi rumput-rumput yang amat subur. Itulah keadilan Sang Illahi. Meski tanah bercampurkan karang, tapi masyarakat Kupang tetap menanti musim penghujan, menanti batu permata yang akan menerangi hidup mereka.
Kupang berciri khas karang dengan masyarakat berkulit hitam. Ini yang sering kita dengar. Namun, ketika kita langsung melihat di lapangan, tidaklah demikian. Memang penduduk aslinya adalah penduduk berkulit hitam, tapi perantau datang dan tinggal menetap di sini. Mulai dari orang Jawa, Sulawesi, Arab, dan Bima. Hampir semua sektor perdagangan mereka kuasai. Boleh dikatakan mereka turut memakmurkan Kota Kupang. Penduduk asli hanya berkutat seputar pasar kecil dan yang lainnya menjadi buruh di perusahaan.
Sama halnya dengan masyarakat Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Hampir 90% siswa di madrasah ini berasal dari anak perantau. Ada yang berasal dari Jawa, Bugis, Makassar, Bima, Ende, dan Manggarai. Penduduk asli Kupang yang bersekolah di madrasah ini hanya satu sampai tiga orang dalam kelas. Kalau dirincikan, suku yang paling banyak adalah suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda memiliki sembilan belas tenaga pendidik bersama staf dan siswa sebanyak 228 orang. Madrasah ini terletak di tengah-tengah pasar sehingga orang-orang menyebutnya pasar inpres. Pernah suatu hari ada kejadian menarik di sekitar pasar.
Sang guru bertanya kepada salah satu murid Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda :
“Dik, di mana sekolah?”
“Di pasar.”
“Kok di pasar?”
“Kan sekolah dikelilingi oleh pasar”
Lalu siswa bertanya kepada sang guru:
“Ibu ngajar di mana?”
“di pasar”
Siswa dan sang guru saling senyum.
Depan sekolah terdapat masjid “Nurul Huda”. Tiap pagi siswa bersama guru shalat dhuha di sana. Tempat ini sudah dimultifungsikan. Kadang digunakan untuk praktik keagamaan, sebagai TPA, dan digunakan pula untuk proses belajar mengajar. Hal ini dikarenakan ruangan kelas kurang memadai.
Sepulang sekolah, rata-rata siswa langsung ke pasar. Mereka tidak membeli, mereka tidak jajan, mereka tidak main, tetapi mereka berjualan, membantu orang tua di pasar. Ada yang menjual makanan khas daerah, gorengan, pakaian. Ini adalah kewajiban mutlak bagi anak madrasah di situ. Sebagian besar waktu mereka terkuras habis untuk berjualan dengan orang tuanya. Jatah untuk belajar hanya difokuskan di sekolah sehingga guru di sekolah selain sebagai tenaga pendidik juga sebagai orang tua.
Malas mengikuti pelatihan adalah budaya guru yang berlaku di sekolah ini. Oleh karena itulah, aku berinisiatif sharing dengan mereka menerangkan bahwa betapa pentingnya mengikuti pelatihan guru. Alasan mereka bermacam-macam. Ada yang memberi alasan karena urusan keluarga, urusan lain, dan ada yang sama sekali tidak mau mengikuti pelatihan guru tanpa alasan. Hal yang mengharukan ketika aku sharing tentang display. Alhamdulillah sudah ada guru yang mau mengaplikasikannya di kelas pasca pelatihan.
Sepulang sekolah, wajahku seperti kepiting rebus. Merah dan menyala akibat panasnya mentari. Aku berjalan sekitar seratus meter dari sekolah menuju tempat menunggu angkutan. Angkutan umum di daerah ini bernama bemo. Bemo ini beda dibangdingkan dengan angkutan yang lain. Bemo dianggap diskotik berjalan, full music. Aku naik bemo selama sepuluh menit dari sekolah.
“kiri pak”
Aku membayar dua ribu rupiah kepada konjaknya.
Aku memasuki rumah. Tampak seorang ibu rumah tangga sedang membuat adonan. Aku menyapanya dan melewatinya menuju kamar. Aku keluar kamar memandangi ibu-ibu yang sedang buat adonan kue. Aku membantunya buat adonan. Aku lipat-lipat adonan itu hingga terbentuk. Pukul 16.00 aku bawa gorengan keluar. Di luar telah ada kereta dorong. Aku menjual gorengan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang. Seketika itu seseorang datang menghampiri kereta dorong ini. Dengan saksama memperhatikan kue gorengan.
“Mba saya beli gorengan lima ribu,”
“Iya” jawabku
Kuambil plastik ungu lalu kutaruh gorengan di dalamnya.
“Terima kasih” ucapku
Orang itu pergi begitu saja tanpa sepatah kata apa pun. Aku perlahan menghela nafas. Imbas panas Kupang masih terasa hingga aku menjual gorengan di sore hari. Namun, aku masih semangat membantu.
Matahari sudah mulai tenggelam saatnya aku siap-siap menyambut magrib.
‘Gantian ko?”
‘Iya boleh”
Aku berjalan menuju rumah. Segera kunyalakan lampu dan jendela kamar telah aku tutup. Suara adzan tidak kedengaran. Hanya bunyi lonceng gereja yang selalu menggema ke mana-mana. Katolik nomor satu, protestan nomor dua, dan Islam nomor tiga. Aku hanya mengandalkan jam dinding rumah. Aku segera berwudhu dan shalat berjamaah dengan pemilik rumah.
Aku kembali keluar jaga jualan. Karena tidak ada aktivitas lain selain hanya duduk diam dekat kereta, maka aku membawa buku keluar sambil membaca. Sudah satu jam aku menjual gorengan, tapi belum semuanya laku terjual. Seperti biasa jika gorengan tidak laku terjual maka pemilik rumah segera membawa gorengan ke panti asuhan.
Kereta dorong telah dipindahkan. Karena malam ini adalah malam jumat, maka seperti biasa saya dan kawan-kawan toifah (tim peduli dhuafa) Kupang yasinan ke rumah warga.
Aku dijemput oleh mobil ambulance. Kali pertama aku keluar rumah naik mobil itu. Hatiku bergumam dan merasa was was. Namun, aku tetap naik karena tidak ada kendaraan lain yang tersedia. Mobil ini ternyata sudah lama tidak dipakai untuk mengantar jenazah. Mobil inilah yang telah mengantarkanku ke tempat yasinan.
Catatan:
Beta : kata ganti pertama
Sonde : tidak
Tulisan merupakan pengalaman guru model di wilayah penempatan