SISTEM PENDIDIKAN KITA ITU SAKIT
Sebagai atribut yang selalu dilekatkan pada pembangunan sumber daya manusia sebuah bangsa, sekolah dengan segala macam kontroversinya tetap dipercaya masyarakat sebagai tempat paling menjanjikan bagi masa depan anak-anak mereka.
Namun, kritik terhadap model pengelolaan sekolah, baik oleh negara maupun masyarakat, tetap harus dilanjutkan dalam rangka mengembalikan kesadaran kritis masyarakat.
Model pengelolaan sekolah dalam sebuah sistem pendidikan biasanya selalu mengacu pada dua hal, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.
Pilihan atas keduanya harusnya merupakan pilihan rasional berdasarkan riset dan kajian tiada henti tentang performansi sekolah sebagai unit analisisnya.
Sayangnya, kebijakan tentang pendidikan di Tanah Air selama ini seperti mengalami jalan sunyi dari proses interaksi yang didasari atas kajian serius setiap masalah yang ada di sekitar sekolah.
Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain't Learning (2013) menengarai bahwa sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial-budaya tempat sekolah itu berada.
Meskipun kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul, menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah imperatif.
Setidaknya ada enam isu yang mesti dilakukan Jokowi-JK dalam siswa waktu pemerintahannya, terutama jika keinginan untuk melakukan revolusi mental di bidang pendidikan tetap ingin diwujudkan.
Pertama, seberapa terbuka keinginan Jokowi-JK memberikan kepercayaan terhadap sekolah untuk menentukan apa yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di sekolah mereka masing-masing.
Selama ini, meskipun kita sudah meyakini menjalankan dan mengadopsi proses desentralisasi pendidikan, banyak kebijakan seperti pengembangan kurikulum nasional, yakni kontrolnya tetap dilakukan secara rigid oleh pusat.
Akhirnya, banyak sekolah menjadi tak sehat dan miskin kreativitas karena fundamental proses belajar-mengajar yang mencerahkan dan berkualitas menjadi terganggu.
Kedua, revolusi mental bidang pendidikan tak akan berkembang jika operasional sekolah masih saja dibebani kuatnya birokrasi dalam mengontrol sekolah, tetapi tanpa mengikutsertakan masyarakat, dunia usaha dan LSM secara cerdas dan bertanggung jawab.
Birokrasi kita seakan ingin terus mengikat sekolah dari kondisi sosial-budaya masyarakat sekitar dan karena itu, setiap inisiatif yang ingin menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman bagi anak-anak selalu disalahkan atas nama peraturan.
Birokrasi pendidikan kita tak menjadikan sekolah menjadi milik masyarakat, tetapi lebih menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anak.
Ketiga, soal model evaluasi pendidikan semacam ujian nasional yang harus dievaluasi bukan hanya berdasarkan struktur sosial-budaya masyarakat, melainkan yang lebih penting ialah melihat peta pertumbuhan anak secara psikologis.
Saya cenderung setuju jika ujian nasional ditiadakan sama sekali dan mengembalikan semua proses evaluasi ke tingkat sekolah.
Sejalan dengan revolusi mental, proses belajar-mengajar anak-anak di tingkat SD dan SMP harus difokuskan pada pembentukan karakter, sedangkan kesadaran kognisi yang kuat harus menjadi konsentrasi sekolah tingkat atas.
Keempat, urusan bagaimana meningkatkan kualitas guru secara berkesinambungan.
Saya tidak percaya pada proses sertifikasi guru yang dilakukan birokrasi pendidikan kita karena sekolah tak diberi kepercayaan untuk membuat peta pengembangan kapasitas profesional guru secara sistematis di dalam sekolah.
Mengacu pada apa yang saya lakukan di Sekolah Sukma Bangsa, model pengembangan kualitas guru dengan sistem informasi sekolah terpadu online (sisto) saya yakini dapat memacu kreativitas guru secara berkesinambungan tanpa bantuan LPTK sekalipun.
Untuk urusan ini silakan Jokowi-JK dan tim pendidikannya menyambangi Sekolah Sukma Bangsa di Aceh.
Kelima, dukungan teknis terhadap sekolah selama ini hanya datang dari para pengawas yang sudah lawas dan kedaluwarsa pengetahuannya sehingga menjadikan sekolah tak bisa berkembang.
Mekanisme dan inisiatif program yang lebih cerdas seperti sulit dilakukan karena para pengawas merasa sudah menjalankan tugas kepengawasan secara baik berdasarkan manual yang monoton.
Tak jarang guru dan kepala sekolah tak bisa berbuat banyak karena fungsi pengawas seperti malaikatulmaut yang siap mencabut nyawa guru dan kepala sekolah yang tidak mengikuti prosedur formal.
Keenam, yang paling fundamental ialah miskinnya imajinasi birokrasi kita dalam membuat skema anggaran pendidikan berbasis sekolah.
Pengelolaan dan penggunaan dana BOS saya yakini semakin mempersempit jarak kualitas sekolah yang satu dengan lainnya karena baik mekanisme pencairan maupun penggunaannya sangat tertutup.
Saya dengan bangga ingin menunjukkan bagaimana dana BOS dikelola di Sekolah Sukma Bangsa berdasarkan proses yang transparan, yakni bukan hanya guru yang terlibat, melainkan juga siswa dan para orangtua tahu ke mana setiap rupiah mengalir ke dalam proses belajar-mengajar.
Dengan mengandalkan sistem keranjang anggaran (bracket fund), setiap guru dan kelas memiliki hak untuk memperoleh anggaran secara proporsional, dan hasilnya guru, siswa, dan orangtua menjadi lebih kreatif dalam menyusun skema belajar-mengajar.
Saya tak ingin melihat dan menjadi saksi kegagalan jargon 'revolusi mental' bidang pendidikan di era Jokowi-JK.
Hanya, saya mulai ragu karena konsentrasi Jokowi-JK di bidang pendidikan cuma terfokus pada kartu Indonesia pintar (KIP) yang menjadi janji kampanyenya.
Semoga belum terlambat untuk memasukkan enam perkara yang menyelimuti secara pekat dan pengap dunia pendidikan kita ke dalam rencana kerja kementerian pendidikan kabinet Jokowi-JK.
Penulis: Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Sumber: Media Indonesia
Label:
Pendidikan,
Pengamat