KLB DIFTERI RI TERBESAR DI DUNIA


DALAM beberapa pekan terakhir Indonesia dikejutkan oleh merebaknya penyakit difteri. Bak bola salju yang terus menggelinding, korban yang ditimbulkan kuman Corynebacterium diphtheriae tersebut terus bertambah dari waktu ke waktu.

Bahkan, tidak sampai hitungan lebih dari bulan penyakit yang menyerang bagian tenggorokan dan mematikan, terutama pada anak-anak, tersebut dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Pada laporan awal sebulan lalu, beberapa penderita difteri ditemukan di 20 provinsi. Kini penderita difteri telah ditemukan di 28 provinsi yang tersebar di 142 kota dan kabupaten.

Pengurus Besar Persatuan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan, 40 anak yang terinfeksi kuman difteri telah meninggal dan lebih dari 600 pasien difteri dirawat di sejumlah rumah sakit.

“Ini sangat mengkhawatirkan dan jika penyelesaikan KLB difteri tidak tepat akan sulit dihentikan. Apalagi, vaksinasi yang dilakukan di ­Indonesia masih di bawah 70%. Ketidaksempurnaan dalam vaksinasi memberi dampak luar biasa,” kata Ketua Umum PB IDI Prof dr I Oetama Marsis SpOG pada jumpa pers yang digelar di Jakarta, Senin (18/12). 


Pernyataan Marsis dibenarkan Ketua Umum PP IDAI dr Aman Bhakti Pulungan SpA(K). Bahkan, Aman menegaskan bahwa KLB difteri di Indonesia bisa dikatakan kasus difteri terbesar di dunia.

“Sebelumnya di Rusia, tidak sebesar ini. Di India hanya satu dua provinsi, di Brasil hanya beberapa provinsi, Afrika Selatan juga hanya di beberapa provinsi. KLB difteri di Indonesia ada dan ditemukan di 28 provinsi,” ujarnya.

Apa pemicu KLB difteri yang sebelumnya hampir tidak ada laporan lagi? Marsis mengatakan, dari 38 anak yang meninggal akibat difteri dan 600 anak penderita yang dirawat, ternyata mereka tidak pernah dan tidak lengkap imunisasi antidifterinya.

“Padahal, imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus), DT, dan Td selalu rutin dilakukan di seluruh negara. Karena imunisasi telah terbukti bermanfaat dan aman serta telah disimpulkan para peneliti di dunia,” papar Marsis.

Berdasarkan catatan dari kartu menuju sehat (KMS), termasuk kartu catatan imunisasi atau buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari anak-anak yang meninggal dan dirawat, sekitar 70% hingga 80% dari mereka tidak mendapat imunisasi DPT, DT, dan Td yang lengkap.

Periksa tenggorok

Dalam jumpa pers tersebut, Satgas Imunisasi IDAI dr ­Soedjatmiko SpA(K) juga mengatakan imunisasi dinyatakan lengkap jika anak yang sampai usia dua tahun mendapat imunisasi DPT empat kali. Sampai umur lima tahun mendapat DPT lima kali dan sampai kurang dari 19 tahun mendapat imunisasi DPT, DT, dan Td total menjadi delapan kali.

Soedjatmiko juga menya­rankan para orangtua untuk memeriksa tenggorok anak-anak mereka. “Buka mulut anak-anak dan diminta meng­ucapkan huruf A dengan nada panjang. Lihat apakah ada selaput putih di tenggorokan. Jika ada, segera periksakan ke dokter,” katanya.

Para orangtua juga perlu mengetahui bahwa kuman Corynebacterium diphtheriae menyerang jaringan di tenggorok sehingga rusak. Selaput putih dari kuman terus menyebar. Tidak mengherankan, tenggorok penderita mengeluarkan bau tidak sedap.

Tidak hanya itu, kuman difteri yang mematikan bisa menyerang jantung penderitanya. Dengan sifat Corynebacterium diphtheriae kuman yang mudah menular dan bahaya, para orang tua yang memiliki anak penderita difteri harus sangat hati-hati serta harus mengurangi kontak.

Sementara itu, konsultan ahli imunologi IDAI dr Zakiudin Munasir SpA(K) menjelaskan tingkat keberhasilan vaksin tergantung kelengkapan, cakupan, dan kualitas vaksin itu sendiri.

Cakupan vaksinisasi yang ditargetkan pemerintah harus mencapai minimal 95%, tujuannya agar terbentuk kekebalan kelompok sehingga membuat bakteri tidak bisa berkembang. “Kekebalan kelompok atau herd immunity bisa dicapai ketika cakupan vaksin mencapai 80 persen dari suatu wilayah,” kata Zakiudin.

Ia juga menegaskan pentingnya pengulangan imunisasi difteri beberapa kali atau outbreak response immunization (ORI) untuk menambah antibodi dan menghilangkan kemungkinan ketidakberhasilan vaksin.

Di sisi lain, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dr Hindra Irawan Satari SpA mengimbau masyarakat untuk proaktif ikut imunisasi dan mengecek kelengkapan imunisasi DPT yang telah diberikan. Apabila masih kurang, segera melengkapi status imunisasinya, agar cakupan imunisasi ulang difteri menjadi tinggi dan merata, sehingga tercapai kekebalan komunitas.

Ia mengakui selama ini cakupan imunisasi DPT sebagai imunisasi dasar, meskipun rata-rata daerah di atas 90%, masih ada kantong-kantong yang cakupannya rendah.

“Kalau dilihat setiap kecamatan atau kelurahan ada kantong-kantong yang cakupan­nya rendah. Kita jangan cepat puas dengan cakupan per daerah,” ujarnya dalam acara Forum Ngobras (Ngobrol Santai) bertajuk Pelajaran dari KLB Difteri, Ayok Vaksin!, di Jakarta, kemarin. (Ind/DY/YH/H-2)

Sumber: Media Indonesia
***
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya