PNEUMONIA MENGANCAM ANAK BALITA



Bayi yang tidak mendapat ASI, kurang gizi, dan tidak mendapat imunisasi dasar lengkap lebih berisiko terkena pneumonia.

PNEUMONIA atau radang paru-paru akut menjadi penyebab kematian terbanyak kedua, setelah diare, pada anak balita di Indonesia. Indonesia belum bisa mengeliminasi pnemonia karena rendahnya pengendalian faktor risiko, minimnya tingkat pengetahuan masyarakat, dan masih lemahnya penanganan dan pendataan di fasilitas kesehatan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu, menjelaskan tata laksana pneumonia sudah diterapkan di fasilitas kesehatan sehingga setiap tenaga kesehatan seharusnya mampu melakukan deteksi dini dan penanganan kasus pneumonia. 


Akan tetapi, masih banyak petugas kesehatan, terutama di daerah, yang belum menjalankannya. Pelaporan kasus pneumonia di daerah, baik dari puskesmas maupun rumah sakit, juga rendah.

"Perhitungan sasaran penemuan kasus pneumonia pada balita masih dari perkiraan. Ini membuat kita kesulitan mengintervensi dan mencapai target menurunkan angka kematian pada balita akibat pneumonia kurang dari 3/1.000 balita pada 2025," tutur Wiendra pada seminar terkait dengan Hari Pneumonia Sedunia di Kantor Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pusat, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Terkait dengan pencegahan, lanjutnya, vaksinasi pneumococcal conjugate vaccine (PCV) efektif melindungi anak dari pneumonia. Namun, vaksin tersebut belum bisa masuk dalam program imunisasi dasar di Indonesia. Wiendra menyampaikan, perusahaan vaksin milik pemerintah, yakni Bio Farma, belum mampu memproduksi vaksin PCV sendiri sehingga harus impor dengan harga mahal.

Ketua Umum IDAI, dr Aman B Pulungan SpA(K), menyampaikan tingginya angka kematian bayi di suatu negara menjadi indikator buruknya aspek kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Ia pun menyayangkan rendahnya cakupan imunisasi dasar di Indonesia yang hanya 57,9% secara nasional. Selain itu, proporsi anak dengan status gizi buruk masih tinggi, yakni 17,7%, dan stunting (anak balita gagal tumbuh karena kurang gizi kronik) sebeser 30,8%.

"Cakupan imunisasi yang rendah, status gizi yang buruk, paparan asap rokok, dan lingkungan yang tidak bersih menjadi faktor risiko pneumonia," cetus Aman.

Napas cepat

Pada kesempatan sama, dokter spesialis anak dr Darmawan Budi Setyanto SpA(K) menjelaskan pneumonia merupakan radang akut pada jaringan paru dan sekitarnya. Penyebabnya ada berbagai macam. Bisa bakteri, virus, ataupun jamur. Bakteri penyebab pnemonia paling banyak ialah pnemokokus dan Hib (Hemophilus influenza tipe b).

Ia mengingatkan, masyarakat harus mewaspadai gejala selesma pada anak balita, seperti demam, batuk, atau flu. Hal itu disebabkan selesma dapat berkembang menjadi pneumonia. Selesma, lanjut Darmawan, pada dasarnya dapat membaik tanpa pemberian obat. Akan tetapi, ada selesma bisa menjadi pneumonia.

"Yang terpenting ialah mengenali tanda-tanda balita mengalami pneumonia. Balita yang demam dan mengalami peningkatan frekuensi napas (napas cepat) hingga tampak sesak napas bisa dicurigai pneumonia. Orangtua diimbau segera membawa ke fasilitas kesehatan," ujar Darmawan.

Sesak napas, terang Darmawan, disebabkan radang di jaringan paru-paru yang mengganggu pertukaran udara. Sesak napas yang dimaksud berupa tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali anak menarik napas. Selain sesak napas, napas cepat juga tanda yang penting diperhatikan sebagai gejala pneumonia.

Karena itu, penting tenaga kesehatan maupun orangtua, ujar Darmawan, untuk mengenali tanda awal pneumonia dengan hitung napas selama 1 menit penuh (lihat grafik).

"Pneumonia dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik serta obat-obatan lain yang diperlukan. Apabila gejalanya berat hingga anak mengalami sesak napas, harus diberikan bantuan suplai oksigen."

Dokter spesialis anak dr Nastiti Kaswandani SpA(K) menjelaskan WHO telah menetapkan pencegahan pneumonia pada anak balita dan anak-anak, yakni dengan pemenuhan nutrisi yang cukup, imunisasi dasar lengkap, pemberian ASI ekslusif hingga usia bayi enam bulan, mencuci tangan, dan membebaskan anak dari polusi baik pajanan asap rokok ataupun kendaraan.

"Pemberian imunisasi dasar lengkap meliputi campak, DPT, aemophilus influenza type b (Hib), dan pneumokokus (PCV) dapat menurunkan angka kejadian pneumonia hingga 49%," kata Nastiti.

Ia mengingatkan, anak balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap seperti campak, berisiko lebih besar terkena pneumonia. Hal itu disebabkan campak menyerang mukosa (lapisan dalam) di seluruh saluran napas. Jika terjadi peradangan di saluran pernapasan, terjadi kerentanan terhadap kuman lain termasuk kuman pneumonia. Pasien campak sering mengalami komplikasi itu," terangnya. (H-2)

Sumber: Media Indonesia
https://goo.gl/M4Bp7t
*-*
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya