MEMPERTAHANKAN TRADISI PALANG PINTU



Hari masih gelap ketika puluhan anak dan orang dewasa yang mengenakan celana pangsi dan kaos oblong itu menggerakkan tubuh mereka mengikuti irama musik.Ada gerakan memukul, menendang, menangkis, dan menghindar, seirama alunan musik hadrah yang dilantunkan Sabtu pagi beberapa waktu lalu.

Di depan, Mochamad Yusuf, Ketua Padepokan Mustika Bungur memberikan contoh dan sesekali ia jalan ke tengah barisan bocah itu untuk membetulkan arah pukulan sambil membetulkan tangan dan posisi kuda kuda, biar kukuh.

Setiap Sabtu dan Minggu pagi, anak-anak dan orang dewasa itu berlatih silat di Padepokan Silat Mustika Bungur, di Kampung Parung Kored, Parung Jaya, Kecamatan Karang Tengah, Tangerang. 

Perguruan yang didirikan Agus (almarhum), guru sekolah dasar di Kembangan, Jakarta Barat pada 2000 ini, juga tergabung dalam SSPB (Silaturahmi Seni Pukul Betawi) yang cukup terkenal di kawasan Jakarta Barat dan Tangerang.Hari itu, mereka berlatih keras karena besoknya mereka diundang manggung untuk menyemarakkan pesta pernikahan di daerah Poris, Tangerang.

Mochamad Yusuf melatih khusus putranya, Farhan Firmansyah dan keponakannya, Mochamad Syahlan karena kedua anak sekolah menengah pertama itu merupakan bintang di padepokan silat itu. 

Mereka kerap kali jadi bintang pertunjukan Palang Pintu. Tradisi Palang Pintu merupakan salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Betawi. Tradisi ini menjadi bagian dalam prosesi upacara pernikahan adat Betawi sejak zaman nenek moyang. Perpaduan silat dan seni pantun yang jenaka menjadi hal yang dominan dalam tradisi Palang Pintu.

Hampir sebagian besar anggota Padepokan Mustika Bungur merupakan keluarga. Mereka satu kerabat dari daerah Parung Kored, Pondok Jaya, yang lokasinya tepat di samping pintu Tol Karang tengah. Kelompok ini kerap diundang untuk menyemarakkan pesta perkawinan khas Betawi dengan honor sekitar Rp2 juta.

Menurut Mochamad Yusuf, sebenarnya itu bukan honor, tapi uang bensin dan makan. Mereka berlatih silat Betawi untuk menjaga agar kesenian ini tidak punah dan dilupakan.

Apalagi, kini masyarakat Betawi mulai terdesak sehingga melepas lahannya untuk permukiman, sehingga para pesilat menjadi tercerai berai dan pindah ke daerah pinggiran. Akibatnya, keahlian silat mereka pun ikut tergusur.

Mochamad Yusuf dan anak buahnya berupaya mempertahankan tradisi itu. Mereka hanya masyarakat biasa dengan bermacam profesi seperti pegawai kesehatan, anggota pemadam kebakaran, buruh, petugas keamanan, guru sekolah. Mereka bahumembahu mempertahankan padepokan silat ini agar tidak punah.

“Puluhan sanggar sudah tutup karena tidak mampu bertahan, di samping tidak ada yang mengundang manggung, bisa juga karena daerahnya dijadikan permukiman baru,“ kata Mochamad. (M-6)

FOTO DAN TEKS : MI / GINO F HADI
MEDIAINDONESIA.COM
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya