ANTARA TRADISI DAN INOVASI

Bagi para perajin tenun di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), industri mereka ibarat telah mengalami masa surut. Masa kejayaan yang berlangsung di era 50-60-an mengalami kemunduran telak akibat krisis moneter.

“Di sini memang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu,” kata Jussy Rizal, pemilik Tenun Lurik Kurnia di wilayah Krapyak Wetan, Kota Yogyakarta. Menurut dia, salah satu faktor menurunnya produksi tenun di DIY disebabkan kalah bersaing dengan industri pakaian modern yang ada, baik dari kualitas maupun harga.

Selain itu, sulit mengajak orang muda menjadi penenun. Karyawannya rata-rata berusia 50-60 tahun.

“Untuk tetap bertahan, kami di sini tetap mempertahankan tradisi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain menjual kain, kami juga menjual proses dan nilai-nilai jiwa manusia dalam pembuatannya,” kata dia.

Jussy juga berusaha mengikuti perkembangan tren warna yang ada, kebutuhan para desainer, dan selera konsumen. Karena tidak memiliki desainer khusus untuk motif dan warna, pengembangan itu pun dibuat dengan tren yang ada.

Besarnya pengaruh eksternal untuk membuat bisnis bertahan juga diakui Waludin, 41, pemilik tenun Ragil Jaya, Desa Gamplong, Kecamatan Moyudan, Sleman. Ketua paguyuban kerajinan Tegar ini mengaku fokusnya pada serat alam ialah berkat pesanan pembeli. Dengan kain serat alam pula, Waludin dapat keluar dari krisis pada 1998.

Bergantung pada perajin tua juga potret di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Rata-rata penenun berusia lanjut dan banyak yang telah meninggal dunia tanpa sempat mewariskan keahlian mereka tersebut kepada generasi penerus. Sementara itu, penenun yang masih eksis mengalami kesulitan dalam memasarkan produk mereka. Hal ini diakui Sahidah, 70.

Di sisi lain, perajin yang telah menenun sejak kelas IV sekolah dasar itu tetap berupaya mengeksplorasi motif, baik dari motif klasik maupun membuat kreasi sendiri.

Songket sambas yang rata-rata berwarna mentereng kini juga tersedia dengan pilihan warna yang lebih lembut. Pewarnaan alami pun mulai kembali diperkenalkan dalam pembuatan songket di Sambas.

“Kami membuat sesuai permintaan konsumen. Ada yang suka warna cerah, tapi ada juga suka warna yang lebih lembut,”kata Faumiati, perajin berusia 43 tahun.

Alfi an, salah satu pemilik usaha kerajinan songket sambas, mengungkapkan ada sekitar 10 sentra kerajinan songket di tujuh desa di Kabupaten tersebut. Beberapa di antaranya merupakan sentra baru.

“Kecamatan Sajad sebelum 1980 bukan sentra tenun. Sekarang, mereka memiliki sentra tenun terbesar kedua di Sambas setelah Semberang.

Banyak warga yang menjadi penenun di sana,” kata lelaki 37 tahun tersebut.

Serangkaian pelatihan untuk meningkatkan produksi dan kualitas tenunan juga kerap dilakukan Pemerintahan Kabupaten Sambas maupun pihak swasta. Alfi an mengaku perkembangan usaha tenun di Sambas saat ini cukup menggembirakan. Kondisinya menyamai era 1970-1990. Hanya berbeda di segmentasi produk dan konsumen.

“Dahulu yang booming itu kain sabuk, atau sampin untuk perlengkapan pakaian pria dan pembelinya dari Malaysia. Sekarang produk turun dari kain songket dan permintaannya dari pasaran domestik,” jelasnya.

Alfi an memperkirakan sedikitnya ada sekitar 225 helai songket yang diproduksi para perajin di Sambas setiap bulan. Para pembeli kebanyakan dari Kalimantan Barat dan beberapa daerah di Sumatra serta Jawa. Alfi an sendiri mengandalkan pembelian langsung atau melalui pameran dan peragaan busana untuk memasarkan produknya.

Usaha songket sambas kini mulai menggeliat kembali, tapi Alfi an tetap merasa belum aman.

Dia mengkhawatirkan masuknya tenun impor bikinan pabrik dari India. Walaupun belum mengusik segmen songket sambas, tenun impor itu bakal bisa mematikan usaha para perajin di Sambas. “Warisan budaya kita juga hancur. Itu yang saya khawatirkan,” tegasnya. (AT/AR/ Wnd/M-3) MI
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya