MEMBUKA LAUTAN ILMU TAK BERPTEPI


"ORANG yang hanya membanggakan IQ-nya, ia seorang pecundang," kata mahaguru masyhur fisika dan matematika, Prof Dr Stephen Hawking.

Baginya, tugas utama ilmuwan ialah terus berupaya membuka tabir lautan ilmu tak bertepi.

Meski suaranya melesap dan fisiknya teronggok di kursi roda, Hawking terus mencari kebenaran ilmu.

Kita tak hendak bicara lebih jauh tentang ilmuwan Inggris itu, ia hanya disebut untuk mengatakan, betapa seorang ilmuwan, terlebih seorang profesor, fisik yang rapuh tak menjadi pintu tertutup untuk menunjukkan pikiran-pikirannya yang kukuh.

Sementara itu, para ilmuwan di Indonesia, khususnya para profesor, memang masih diselimuti awan regulasi yang membelenggu.

Seminar Nasional Keprofesoran yang bertajuk Menggagas Format Baru untuk Menghasilkan Profesor yang Berdisiplin, Kreatif, dan Produktif di Jakarta, Kamis (29/10), menyoal aneka persoalan seputar profesor itu.

Apa definisi profesor? Apakah penetapan profesor murni akademik atau pertimbangan lain? Kenapa profesor di negeri ini tak berkembang?

Menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Sofyan Effendi, di Indonesia profesor masih dianggap gelar.

Padahal, jika merunut konstitusi, ia jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi. Ia berwenang membimbing calon doktor.

Profesor belum berkembang karena kementerian memang memperlakukan profesor dengan kacamata PNS.

Sofyan mengusulkan perangkat aturan harus dibenahi terlebih dahulu supaya tak menjadi jerat dan perangkap.

Sekadar contoh, tahun lalu sebuah universitas negeri mengajukan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dua doktor untuk mendapatkan izin dikukuhkan sebagai profesor.

Kedua nama itu bukan dosen, melainkan pejabat dari sebuah institusi yang sama; yang satu atasannya dan satunya lagi wakil atasan. Kenyataannya sang atasan lebih dahulu dikukuhkan sebagai profesor. Sementara itu, sang wakil hingga kini belum ada kepastian. Ini tentu mengundang pertanyaan.

Setelah ditelusuri dari biografinya, sang wakil punya sejarah sebagai dosen dan lebih banyak punya karya ilmiah jika dibandingkan dengan sang atasan.

Apa sesungguhnya tugas profesor selain membimbing calon doktor?

'Profesor memiliki kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat' (ayat 2, Pasal 49, UU No 14 Tahun 2005).

Kita tahu ada banyak profesor yang tak menulis buku dan karya ilmiah. Ironisnya, kita justru tengah amat kekurangan mahaguru itu.

Dengan sebanyak 23.074 program studi dari 4.327 perguruan tinggi negeri dan swasta di Tanah Air, Indonesia hanya mempunyai 5.097 profesor. Jika satu program studi mesti punya satu profesor, jelas itu masih amat jauh.

Sementara itu, dari yang amat sedikit tersebut, sebagian tidak berdisiplin, kreatif, dan produktif.

Memang, di negeri ini masih banyak yang memperlakukan gelar dan jabatan sebagai penghias dan pemantap diri, menambah 'wibawa seremoni', tak peduli apa yang diamanahkan kontitusi. Tak peduli publik dicerahkan atau dikeruhkan.

Meminjam kalimat Hawking seraya mengganti 'IQ-nya', "Orang yang hanya membanggakan gelar dan jabatan, ia seorang pecundang."

Sumber : Media Indonesia
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya