TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI BERBASIS MUTU


Pendidikan tinggi di Indonesia secara pukul rata masih jauh untuk dikatakan bermutu. Pasalnya, dilihat dari segi kuantitas saja, jumlah lulusan perguruan tinggi (termasuk D3 dan D4) secara nasional hanya berkisar 7%.
Menurut Ketua Pusat Layanan Pengemba ngan Pengkajian, Bimbingan Implemen tasi Sistem Manajemen Mutu dan Kurikulum Berbasis Mutu (Puslapim) Willy Susilo, postur kekuatan hasil pendidikan tinggi secara nasional seperti itu terlalu kecil dibandingkan kebutuhan untuk mendukung pembangunan nasional yang begitu luas dan besar.


"Dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita tertinggal jauh. Negara Jiran ini mampu menghasilkan hampir tiga kali lipat lebih besar dari jumlah yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita," ujarnya dalam Seminar Nasional Transformasi Sistem Manajemem Mutu Pendidikan Tinggi di Jakarta.

Ia mengatakan, bahwa pendidikan bermutu bukan saja dibutuhkan untuk mendukung pembangunan nasional, melainkan juga menjadi hak setiap warga negara. Undang-Undang No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 51 ayat 2 mengamanatkan secara tegas, agar pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi untuk mendapatkan pendidikan bemutu.

Namun faktanya, disinyalir hanya sekitar 10% dari sekitar 4.300 pendidikan tinggi yang mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu dan menghasilkan lulusan sesuai harapan. Sementara sisanya, dinilai masih jauh dari kategori baik apalagi bermutu.

"Sebagai gambaran kasar, di wilayah kopertis IV terdapat 450 institusi pendidikan tinggi dan 1.630 program studi. Dari jumlah itu, hanya sekitar 50 prodi yang memiliki status terakreditasi A," katanya.

Transformasi pendidikan tinggi berbasis mutu, kata Willy, harus dimulai dari perbaikan mutu masukan dalam kerangka sistem masukan-proses-keluaran. Masukan sistem pendidikan tinggi adalah keluaran dari sistem pendiikam dasar dan menengah. Sehingga perbaikan pendidikan tinggi hanya akan terwujud kalau mutu bahan bakunya baik.

"Proses transformasi pendidikan tinggi yang baik sekalipun tidak akan menghasilkan lulusan pendidikan baik jika bahan bakunya jelek. Jadi mutunya akan dinilai baik, jika dan hanya jika aktivitas kelasnya baik dan menghasilkan produktivitas," tukasnya.

Ia pun menjelaskan, esensi dari pendidikan berbasis mutu sebenarnya adalah keberhasilan pendidikan yang dinilai dari dimensi kuantitas lulusan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) >3,00 naik 10%, waktu studi lebih cepat 10%, kapasitas pendidikam tinggi naik 10%, serta unit biaya produksi lulusan yang baik menjadi lebih murah.

Selain itu, indikator lainnya adalah laba perguruan tinggi yang ikut meningkat, perusahaan pengguna jasa lulusan menjadi lebih bahagia, dan semua pemangku kepentingan pun menjadi lebih bahagia.

Komitmen Semua Pihak

Namun demikian, Willy menyadari bahwa untuk membangun mutu pendidikan tinggi memang tidak mudah karena masalahnya sangat kompleks. Tanpa komitmen dari berbagai pihak yang bertanggung jawab, diyakini pendidikan tinggi yang bermutu tidak akan terwujud.

Untuk itu, pemerintah sebagai regulator sekaligus pengontrol pendidikan tingi secara nasional harus juga bersinergi dengan institusi pendidikan selaku penyelenggra pendidikan itu sendiri. Selain itu, masyarakat juga harus ikut berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Menurut pelopor transformasi pendidikan tinggi berbasis mutu ini, selama ini pemerintah lebih banyak melakukan intervensi lewat regulations enforcement, baik melalui regulasi yang secara eksplisit mengatur mutu maupun regulasi yang mengatur aspek lain. Sedangkan peran dalam meningkatkan institutional empowetment, khususnya terhadap perguruan tinggi swasta yang lemah masih sangat kurang.

Padahal, regulasi pendidikan tinggi yang secara eksplisit terkait pengaturan mutu, antara lain Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), Sistem Pengendalian Mutu Internal (SPMI), dan Sistem Pengendalian Mutu Eksternal (SPME) telah diberlakukan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Patdono mengungkapkan, bahwa mutu pendidikan tinggi merupakan salah satu prioritas sasaran strategis dikti selain akses, relevansi, daya saing, dan tata kelola.

"Dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi tahun ini, pemerintah akan memberikan insentif Rp5 miliar untuk setiap perguruan tinggi agar masuk ke dalam 500 top dunia. Bahkan, tahun depan insentif akan kita tingkatkan jadi Rp10 miliar," tegasnya.

Namun demikian, kata Patdono, mutu pendidikan bukan hanya dilihat dari Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) serta status akreditasi yang bagus. Akan tetapi, pihaknya berharap pendidikan tinggi tidak saja berperan sebagai agen pendidikan namun berangsur ke agen penelitian.

"Ke depan, peran itu harus meningkat menjadi agen penetrasi, kebudayaan, pengetahuan, dan teknologi," tandasnya. (Q-1)

Sumber : Media Indonesia
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya