Tingginya angka putus sekolah ternyata berbanding lurus dengan jumlah anak yang menjadi buruh. Data BPS (2017) mencatat lebih dari 2 juta anak Indonesia menjadi buruh dan tidak sekolah. Peningkatan yang cukup tajam jika dibandingkan dengan kondisi agregat pada 2015. BPS menyebut pada 2015 secara agregat 5,99% anak Indonesia (usia 10-17) tahun menjadi buruh dan tidak sekolah. Mereka sebagian besar menjadi buruh pada sektor pertanian dan jasa, sedangkan sisanya (2,5 %) berwirausaha.
Jika merujuk konvensi ILO nomor 138, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun tidak diperbolehkan. Selanjutnya, pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ILO tersebut dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Pada pasal 69 disebutkan dengan jelas bahwa anak di bawah 13 tahun tidak boleh dipekerjakan; boleh dipekerjakan jika usai antara 13-15 tahun dan dengan catatan tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Mereka juga hanya boleh bekerja maksimal 3 jam per hari atau 15 jam per minggu (Iswandi, 2017).
Pungutan liar
Meski jauh hari pemerintah sudah mengarusutamakan gerakan ayo sekolah, dampaknya belum signifikan. Banyak orangtua menganggap sekolah bukan prioritas utama. Jika anak sudah bisa meringankan beban dengan menjadi buruh, itu jauh lebih baik. Selain bisa turut menopang ekonomi keluarga, anak-anak yang bekerja tidak menjadi beban. Ketika orangtua sudah tidak berkeinginan anak mereka sekolah, bukan tidak mungkin anak juga kehilangan motivasi.
Tingginya angka anak putus sekolah dan menjadi buruh mengindikasikan program pendidikan nasional belum optimal. Jika tidak diantisipasi sejak dini, bukan tidak mungkin angka tersebut terus meningkat tajam. Itu artinya, akan semakin banyak tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan rendah--bahkan belum sekolah--yang meramaikan bursa persaingan di era bonus demografi 2025-2030. Bisa dipastikan mereka akan tersingkir dan kalah bersaing dengan tenaga kerja mancanegara.
Lebih dari itu, seperti sebuah siklus, angka putus sekolah akan berpengaruh pada peningkatan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.
Jika kembali pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang layak bagi seluruh warganya. Namun, pada praktik nyata, tidak banyak anak bangsa yang bisa mengenyam pendidikan. Di atas kertas, sekolah memang gratis! Namun, fakta di lapangan, banyak ‘iuran’ yang harus dibayar siswa dengan alasan kemajuan sekolah. Seperti terlambatnya pencairan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan kecilnya dana BOS.
Menurut ketentuan Petunjuk Teknis Dana Bantuan Operasional Sekolah Kemendikbud (2015), dana dari pemerintah bisa dimanfaatkan untuk membiayai operasional sekolah, seperti biaya buku sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan perpustakaan, uang formulir pendaftaran ulang, biaya praktikum, dan renovasi gedung. Namun, anehnya, siswa justru ditariki iuran untuk pembangunan fisik. Padahal, seharusnya itu semua menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal itu jelas menjadi beban para orangtua miskin sehingga meminta anaknya berhenti sekolah.
Kasus demikian banyak terjadi di sekolah negeri. Data Lembaga Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH, 2017) menemukan masih adanya praktik pungutan liar di beberapa sekolah negeri di Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Orangtua siswa diminta membayar untuk beberapa hal, seperti saat seleksi masuk, membeli buku paket pelajaran sekolah, lembar kerja siswa, dan studi banding. Ombudsman Jawa Tengah (2017) juga menemukan hal serupa di beberapa sekolah negeri di daerah Bantul dan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Negara hadir
Meningkatnya jumlah anak usia sekolah menjadi buruh serta kesulitan mengakses pendidikan bagi orang miskin tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus hadir dan memberikan solusi jitu. Melainkan demi nasib satu generasi ke depan. Apa jadinya bangsa di masa depan jika satu generasi saat ini tidak bisa mengakses pendidikan? Tentu mereka akan tersingkir bahkan menjadi penonton di negeri sendiri. Ironis sekali!
Jauh hari, almarhum Nelson Mandela pernah berujar pendidikan ialah senjata ampuh untuk menguasai dunia. Mantan Presiden Afrika Selatan itu bahkan menegaskan betapa urgennya pendidikan bagi perbaikan nasib anak bangsa. Bangsa yang maju, kata Mandela, diawali dari terbuka lebarnya akses pendidikan bagi semua warga, termasuk anak miskin sekali pun. Menurut Mandela, negara harus hadir menjadi solusi demi menyelamatkan nasib generasi mendatang dari kebodohan dan penindasan.
Mandela benar! Pendidikan merupakan sarana efektif membangun generasi mendatang. Itu sudah menjadi ancangan jauh hari para pendiri bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, KH Hasyim Asyary, KH Ahmad Dahlan, Raden Ajeng Kartini, dan Dewi Sartika. Para pendiri bangsa bahkan merekomendasikan pendidikan sebagai garda depan membangun ‘jiwa’ seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Ancangan mulia para bapak bangsa itu mestinya terus diingat, bahkan dilanjutkan pemerintah bersama seluruh stakeholders pendidikan bangsa saat ini. Bukan sebaliknya!
Jika kita setuju dengan Mandela serta melaksanakan amanat UUD 1945, tidak ada pilihan lain bagi negara selain hadir memberikan solusi. Negara perlu berperan dalam mengawasi sekolah agar tidak merampas hak-hak pendidikan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Sebagai contoh, negara melalui Kemendikbud beserta jajaran paling buncit melakukan pengawasan ketat terhadap kebijakan sekolah, terutama yang menyangkut biaya pendidikan. Ini menjadi penting agar biaya pendidikan dari pemerintah tersalur sebagaimana mestinya, langsung dinikmati masyarakat; bukan tersumbat pada oknum tertentu stakeholders pendidikan. Jika perlu, setiap pungutan jangan dilepas secara sepihak kepada sekolah, tetapi harus mendapat izin dari pemimpin daerah dan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Aparat pemerintah bersinergi dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, perusahaan negeri, dan swasta, perlu turun gunung ke kampung-kampung miskin. Anak-anak yang terpaksa menjadi buruh pabrik dan putus sekolah harus dibantu. Melalui program beasiswa atau yang sejenis, anak-anak miskin harus bisa sekolah lagi. Pemerintah juga bisa menekan sekolah swasta agar tidak melulu mengejar pendapatan dari jasa pendidikan mereka. Misalnya, membuat aturan setiap sekolah swasta wajib menyediakan 20% bangku untuk anak-anak miskin dengan biaya murah, bahkan gratis. Sekolah swasta bisa menerapkan subsidi silang untuk bisa menampung anak-anak miskin.
Selanjutnya program kartu Indonesia pintar (KIP) mesti terus diefektifkan. Program ini terbukti membantu lebih banyak orang miskin untuk tetap sekolah. Kendala utama program ini terletak pada kesediaan data yang belum tepat dan akurat. Perbaikan sistim penyediaan data mesti diutamakan agar KIP bisa dinikmati anak-anak miskin yang harus sekolah. Akhirnya, kita tidak ingin satu generasi mendatang gagap, rendah daya saing, dan menjadi penonton di negeri sendiri lantaran saat ini tidak bisa mengakses pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir memberikan solusi untuk melindungi hak pendidikan anak-anak miskin. Sekarang juga, sebelum terlambat dan nasi menjadi bubur!
Penulis: Agus Wibowo
(Direktur Pendidikan SEEB Institute Jakarta, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta)
Sumber: Media Indonesia