DARI HARI ANAK NASIONAL KE GERAKAN REGIONAL


Indonesia baru saja pada akhir tahun lalu menghasilkan dua legislasi penting. Pertama, Undang-Undang Perlindungan Anak. UU ini merupakan hasil kerja supercepat legislatif dan eksekutif sebagai respons terhadap situasi Indonesia terkini yang disebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai darurat kejahatan seksual terhadap anak. Kedua, Instruksi Presiden tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Inpres ini memberikan penegasan bahwa rumah dan sekolah merupakan basis utama penciptaan lingkungan ramah anak dan nirkekerasan.

Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, baik dari sisi bentangan geografis maupun jumlah penduduk, situasi perlindungan anak Indonesia niscaya dianggap sebagai potret nyata tentang hal yang sama di kawasan Asia bahkan dunia. Dengan dasar berpikir seperti itu, pertanyaan mendasarnya ialah apakah kegentingan dimensi keamanan anak-anak di Indonesia juga mencerminkan realitas tingginya risiko anak-anak di seantero wilayah Asia?

Tentu butuh kajian mendalam untuk menjawabnya. Namun, sebagai ilustrasi, Child Helpline International memetakan situasi kekerasan di 145 negara. Hasilnya cukup melegakan jika dibandingkan dengan belahan dunia lainnya, rerata kekerasan terhadap anak di kawasan Asia Pasifik sebesar 10%. Angka ini separoh dari rerata di Afrika, Eropa, dan Amerika. Bahkan sepertiga dari rerata di Timur Tengah.

Kabar baik tentang situasi keamanan dunia sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Profesor Steven Pinkler lewat bukunya, The Better Angels of Our Nature: Why Violence has Declined, pada 2011 silam. Profesor Pinkler menyimpulkan bahwa anak-anak masa kini menjalani hidup yang lebih aman daripada di masa lalu.

Itu bertolak belakang dengan pemberitaan media tentang perundungan, penculikan, kekerasan fisik dan seksual, serta berbagai perlakuan salah lainnya terhadap anak. Namun, mari kita bicara tentang dunia anak-anak Asia dengan membandingkan data sesama kita, sesama negara Asia.

Meta-analisis estimasi UNICEF pada 2014, yang dimuat dalam Violence Against Children in East Asia and the Pacific - A Regional Review and Synthesis of Findings, memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap anak tersebar di seluruh wilayah Asia.

Itu baru satu masalah. Masalah berikutnya ialah segala bentuk kekerasan terhadap anak berhubungan dengan masalah kesehatan mental dan depresi. Ambil misal, dalam persentase yang besar, perilaku menyakiti diri sendiri, pemikiran dan upaya bunuh diri dialami lebih tinggi oleh anak-anak yang mengalami kekerasan psikis.

Anak-anak korban kekerasan fisik memulai perilaku merokok pada usia belia. Semua ragam kekerasan menjadi penyebab anak menjadi pecandu minum keras dan penyalah guna zat adiktif berbahaya. Satu lagi, dan ini sangat menakutkan, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual tumbuh dewasa menjadi predator seksual serta mengembangkan beraneka bentuk masalah dalam relasi sosial mereka.

Mirip dengan Indonesia, laporan kasus tentang anak-anak yang mengalami kekerasan di negara-negara Asia lainnya juga menunjukkan tren kenaikan yang ajek. Kita sejenak bisa membuat tafsiran positif tentang temuan UNICEF itu. Pada satu sisi, persepsi masyarakat Asia mengenai kekerasan terhadap anak tampaknya telah berubah.

Dulu masalah semacam itu dianggap sebagai kejadian domestik yang tidak semestinya diintervensi oleh pihak luar keluarga. Akibatnya, masyarakat enggan melapor kepada penegak hukum betapa pun mereka mengetahui atau bahkan anak mereka sendiri telah mengalami kejahatan keji tersebut. Namun, kini masyarakat paham bahwa korban kanak-kanak harus ditolong.

Anak-anak yang menderita kekerasan bukan lagi individu-individu yang boleh dipaksa tutup mulut. Perubahan sikap tersebut membuat masyarakat lebih terbuka, lebih responsif, sekaligus lebih percaya diri untuk selekasnya mendatangi polisi ataupun lembaga-lembaga perlindungan anak guna melaporkan masalah mereka. Kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa tentu akan mengakibatkan meningginya data kejahatan terhadap anak, baik yang terkumpul di kepolisian maupun lembaga-lembaga perlindungan anak. 


Satu tarikan napas dengan masyarakat, media massa pun menaruh atensi lebih mendalam terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap anak. Stamina media yang lebih tinggi terwujud dalam liputan berhari-hari dan tulisan berkolom-kolom.

Gempuran pemberitaan yang intens itu menghajar kesadaran publik, yang disusul dengan tumbuhnya kengerian sekaligus kemarahan terhadap para pelaku kekerasan serta keinsafan akan pentingnya upaya lebih masif untuk melindungi anak-anak.

Tak bisa disampingkan sama sekali ialah respons lembaga penegakan hukum, utamanya kepolisian, baik terhadap laporan masyarakat maupun informasi dari media tentang kejahatan seksual tersebut. Kentara, betapa polisi bekerja lebih keras guna mengungkap kasus-kasus kejahatan terhadap anak. Konsekuensi dari kuatnya reaksi masyarakat, media, dan polisi sebagaimana dilukiskan di atas tak lain ialah meningginya angka kejahatan seksual terhadap anak.

Naiknya laporan kasus kekerasan terhadap anak justru boleh jadi mengandung titik cerah bahwa segenap unsur masyarakat Asia kini lebih mafhum, lebih waspada, serta lebih kuat dalam memerangi kejahatan-kejahatan seksual terhadap anak. Kemampuan yang berbasis pada kemitraan antara penegak hukum dan masyarakat, tentunya, pantas diharapkan menjadi senjata sakti untuk melawan kejahatan biadab ini.

Uraian ini menjadi dasar untuk membangun simpulan yang lebih positif bahwa ketangguhan masyarakat Asia dalam menindak pelaku kejahatan seksual terhadap anak justru kini lebih hebat. Pertanyannya, dengan ketangguhan yang telah terbangun sedemikian rupa, bagaimana dengan peranti hukum terkait perlindungan anak di negara-negara lain se-Asia?


Penulis: Seto Mulyadi 
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma,Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
Sumber: Media Indonesia

Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya