MENYELAMATKAN ANAK DARI PERUNDUNGAN


Harus jujur kita akui bahwa pendidikan masih kurang sensitif dan sigap dalam menangani perilaku perundungan (bulliying), baik pada pelaku maupun korban. Sekolah biasanya akan melepas (baca: mengeluarkan siswa) yang menjadi pelaku bulliying, dan di sisi lain tak memberi intervensi apa pun terhadap korban.

Mengeluarkan anak pelaku perundungan biasanya menjadi alternatif yang paling aman sebab seolah sekolah telah menyelesaikan permasalahan dan secara tidak langsung memberikan perlindungan psikis kepada korban.

Warta terhangat misalnya, sebuah sekolah telah mengeluarkan sembilan anak pelaku perundungan. Sembilan pelaku tersebut masih duduk di bangku SMP. Tentunya, kasus ini bukan yang pertama meski menjadi kasus utama yang kali ini sedang muncul di permukaan.

Ibarat fenomena gunung es, tak sedikit sekolah yang memilih mengeluarkan anak jika dibanding dengan melakukan intervensi yang memberdayakan. Lantas di mana sembilan anak itu akan mendapat edukasi mengenai manajemen kematangan emosi? Nyatanya, mengeluarkan anak pelaku perundungan dari sekolah bukanlah hal yang tepat.

Dengan mengeluarkan siswa, sekolah memang telah menyelesaikan masalah (internalnya), tetapi tidak bagi siswa yang (kebetulan) menjadi pelaku. Fase dikeluarkan dari sekolah sesungguhnya menyisakan perasaan yang tidak aman (malu, inferior, dan rasa bersalah). Bagi pelaku yang dikeluarkan, fase ini justru menyisakan permasalahan yang tidak selesai.

Jika perundungan terjadi di sekolah, sekolah sebaiknya tidak 'memutus' masalah begitu saja dengan cara mengeluarkan siswa. Bagaimanapun juga perundungan di sekolah mencerminkan kelalaian pendidik dalam mendeteksi dan menangangi perundungan pada anak.

Harus dipahami bahwa perundungan yang memuncak dengan level kekerasan pada tingkat optimal tidak terjadi begitu saja. Itu berangkat dari titik awal, menengah, dan seterusnya. Anak-anak yang menjadi korban dan rentan menjadi pelaku sudah bisa diobservasi di dalam kelas. Mereka terbiasa memberi umpan negatif pada teman, terlihat superior, dan bersikap agresif.

Untuk itu, seharusnya guru dapat memberikan umpan balik pada siswa dengan cara bijak dan bisa mengomunikasikan pada orangtuanya. Sayangnya, yang sering terjadi di sekolah ialah sebaliknya. Tak banyak guru yang menyadari bahwa kebiasaan mengejek, mencela, dan hal senada lainnya dapat memupuk kebiasaan bulliying. Hal itu dapat menjadi starting point dari perundungan pada siswa.

Sudah saatnya, kita bertindak tegas, sebab sudah banyak siswa yang menjadi pelaku dan korban perundungan di sekolah, dan menyebabkan suasana belajar tidak aman dan kondusif.

Pendidikan memang harus menyelamatkan anak dari perundungan. Jika tidak, anak akan merasa tidak aman, merasa cemas dan tertekan, dan tentu hal itu akan berimbas pada performansi akademik sekaligus nonakademik. Kita membutuhkan sekolah yang sensitif dan peka terhadap gejala perundungan.

Perundungan di sekolah dapat dilakukan oleh siswa, bahkan guru atau karyawan. Jika tidak ditangani secara serius, hal itu dapat mendongkrak angka drop out dan burnout (kejenuhan belajar) di sekolah. Bahkan dampak jangka pendek sekaligus langsungnya, perundungan dapat mengakibatkan siswa korban mengalami luka, baik secara fisik atau bahkan psikis. Hal itu tentunya secara tidak langsung merugikan negara jika kasus perundungan di sekolah tidak ditangani secara optimal.

Perundungan di sekolah yang tidak dikelola secara tuntas akan menyisakan trauma bagi korban dan membuat para pelaku tidak memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Pada fase masa remaja, anak-anak belum memiliki sikap matang. Mereka masih butuh belajar menahan keinginan yang tak sesuai dengan norma.

Jika kasus perundungan gagal dikelola secara tuntas, kemungkinan siswa yang menjadi korban akan mengalami kejenuhan belajar, bahkan memutuskan keluar dari sekolah. Di sisi lain, ada kemungkinan korban akan dikeluarkan dari sekolah sehingga hal ini akan menyusutkan potensi Indonesia untuk melahirkan generasi yang good and smart.

Peran keluarga

Memang tak mudah mengurai benang perundungan yang sudah telanjur rumit. Kebiasaan berujar negatif, mencela, dan menyakiti hati yang dilakukan oleh siswa, sesungguhnya menjadikan dirinya rentan menjadi pelaku perundungan. Namun demikian, tak semata anak yang sekaligus berstatus sebagai siswa yang bersalah sebab kebiasaan berujar negatif seringkali ditularkan dari rumah.

Keluarga dengan pola komunikasi yang saling menyalahkan, memberikan model pada anak untuk berujar negatif serta bereaksi negatif atau suatu peristiwa. Terlebih, jika di rumah anak-anak sering dijadikan objek pelampiasan amarah atas kelelahan kedua orang tuanya, anak pun cenderung menumpahkan emosi negatifnya pada teman-temannya yang (dianggapnya) inferior di kelas.

Anak yang sering mendapat celaan dari kedua orang tuanya ataupun komponen keluarga lainnya akan cenderung melakukan displacement kepada teman sebaya yang berpotensi untuk dijadikan korban. Untuk itu, penanganan terhadap anak pelaku perundungan harus melibatkan peran orangtua atau wali.

Sekolah perlu membangun dialog yang membangun ruang refleksi agar keluarga bersangkutan menyadari bahwa pola komunikasi yang dipenuhi ujaran negatif di dalam rumah dapat menyebabkan anak mengalami permasalahan. Di sisi lain, guru harus peka dan mampu mendeteksi gejala perundungan di sekolah, memberikan intervensi berjenjang, sekaligus memberikan dukungan terhadap korban.

Ketika ada siswa yang memiliki kebiasaan berujar negatif dan menyakiti temannya, guru harus bersikap tegas dan bijak. Sekolah dapat melakukan berbagai metode penyadaran, di antaranya melalui mekanisme reward and punishment, refleksi diri, ataupun mekanisme penuntasan emosi karena telah mendapat ujaran negatif di dalam rumah.

Anak-anak yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan cenderung menyakitkan perlu mengungkapkan perasaannya, baik dengan cara berbagi perasaan, menulis, maupun mencurahakan perasaan. Mereka harus terbiasa mengelola perasaan pascasakit hati agar tidak tersisa beban mental yang berat. Pasalnya, hal itu dapat berujung pada depresi dan stres jika tidak mendapatkan dukungan dari figur otoritas.

Bagi korban perundungan, pihak pihak sekolah harus terus memberikan dukungan dan memulihkan rasa percaya diri. Untuk memutus mata rantai perundungan, kita pun harus mencegah agar korban perundungan tidak menjadi pelaku. Korban perundungan perlu diajak untuk menuntaskan perasaannya, memaafkan kesalahan pelaku, dan bersikap empati terhadap diri sendiri. Dengan demikian, ia diharapkan enggan untuk mencela atau berujar negatif pada orang lain.

Korban perundungan juga perlu dilatih untuk menerjemahkan kalimat celaan atau ujaran negatif lainnya dengan lebih bijaksana. Alangkah menakjubkan jika ujaran negatif dijawab dengan realitas pencapaian prestasi yang menakjubkan. Ujaran negatif bisa dijadikan bahan untuk mengevaluasi diri sehingga menjadi awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Tak sedikit para korban perundungan yang justru mencapai pencapaian hebat setelah menjadi korban. Sekolah, mestinya menjadi 'kawah' yang dapat menjadikan korban perundungan tumbuh hebat di atas ladang luka.

Sekolah, mestinya juga menjadi medan yang membentangkan kesadaran kepada para pelaku perundungan bahwa tindakan bulliying hakikatnya membawa kerugian yang amat besar, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Menangani perilaku perundungan di sekolah membutuhkan ketegaran, kesabaran, dan kegigihan. Sekolah dan dunia pendidikan sebaiknya terus menjaga anak dari perundungan yang dapat melemahkan mental.


Penulis: Nurul Lathiffah 
Pemerhati Pendidikan,Penulis Buku Psikologi dan Agama
Sumber: Media Indonesia


Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya