GAWAI DAN RADIKALISME TANTANGAN PENDIDIKAN ERA DIGITAL
Sepanjang 2017 smartphone yang terjual di Indonesia mencapai 1,46 miliar unit. Penggunanya lebih dari 100 juta, terbesar di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Dengan berbagai dalih, fenomena ini bisa diterjemahkan sebagai kabar gembira. Namun, di sisi lain, fenomena ini justru merupakan tantangan baru bagi dunia pendidikan kita.
Dengan kehadiran produk gawai nan canggih, para peserta didik beralih dari 'papan tulis' ke situs-situs dunia maya. Ruang kelas beserta kurikulum yang ditawarkan kalah laris jika dibandingkan dengan konten-konten liar di dunia maya. Menariknya, hal itu juga berlaku ketika mereka hendak menggali informasi pengetahuan Islam. Hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menunjukkan bahwa 50,8% siswa dan mahasiswa memilih belajar Islam melalui internet. Data tersebut bisa saja dilihat sebagai salah satu indikasi keberhasilan pembangunan (mahir menguasai teknologi mutakhir), tetapi juga sekaligus sebagai ancaman.
Alasannya, pertama materi-materi keislamam di internet susah dipertanggungjawabkan. Kedua, rentan bermuatan konten-konten radikalisme.
Menurut sejumlah peneliti, seperti Fealy (2007) dan Rabasa (2015), internet menjadi media penting bagi penyebaran doktrin Islam radikalisme. Dari itu, tak sedikit kalangan muda-mudi kita terpapar ideologi tersebut lantaran belajar Islam di gawainya. Contohnya, Dita Siska Millenia yang ingin Islamic State (IS) ada di seluruh dunia. Gadis remaja itu mengenal doktrin IS lantaran mengaji di gawainya yang dilengkapi berbagai aplikasi media sosial seperti Whatsapp dan Facebook. Simak saja pengakuannya di majalah Tempo (edisi 3 Juni); "Saya belajar autodidak dari berbagai grup Whatsapp dan channel Telegram sejak November tahun lalu, dan situs-situs internet..."
Berita ini menyedihkan. Kecenderungan belajar Islam radikal di dunia maya tak mengenal batas usia, gender, bahkan negara sekalipun. Siapa pun bisa tertular. Dengan ragam aplikasi yang tersedia, gawai sangat dimungkinkan menjadi perangkat yang dapat meningkatkan tren itu. Masalah itu yang sering luput dari telaah evaluasi pendidikan kita.
Gawai versus ruang kelas
Selama ini, pendidikan kita masih mengandalkan ruang kelas sebagai satu-satunya media transmisi pengetahuan. Padahal, model itu bisa dibilang amat ketinggalan zaman. Bagaimana tidak? Di tengah gempuran teknologi yang kian canggih, model warisan Akademia Platon abad ke-4 sebelum Masehi itu masih dipertahankan dengan apa adanya. Proses belajar-mengajar selalu mengandaikan guru, murid dan 'papan tulis' (baca: materi yang disampaikan) harus berada dalam satu ruangan. Model itu punya kelemahan yang jarang (untuk tak mengatakan 'tak pernah') disinggung.
Titik kelemahannya terletak pada batasan tembok ruang kelas itu sendiri.
Dengan menggunakan model itu, proses belajar-mengajar otomatis dibatasi ruang dan waktu: di mana dan kapan. Ketika jam belajar berakhir, konektivitas guru, murid, dan mata pelajaran pun terputus. Keterputusan itu menyisakan celah. Celah itulah yang kemudian dimanfaatkan kelompok muslim radikal untuk menyalurkan ideologi mereka.
Gerakan mereka bisa berbentuk apa saja. Salah satunya seperti halaqah-halaqah--halakah/perkumpulan khusus--yang digelar di luar jam pelajaran. Mereka berhimpun dalam satu majelis membicarakan ideologi yang diusung.
Langkah itu dapat dicegah melalui full-day school yang diusung pemerintah beberapa bulan lalu atau boarding school yang telah lama diterapkan pesantren. Dengan jam belajar yang padat, diasumsikan, para peserta didik selamat dari paham radikalisme lantaran minimnya kesempatan untuk ikut halaqah itu. Strategi ini bisa disebut sebagai perlawanan yang mengandaikan kontestasi ruang kelas versus ruang kelas. Sekolah (atau pesantren) lawan halaqah.
Namun, persoalannya, kelompok muslim radikal tak melulu menggunakan media itu (halaqah). Mereka juga memanfaatkan teknologi melalui gawai. Dengan menggunakan perangkat mobile mutakhir itu, mereka dapat menjalankan misi tanpa harus dibatasi ruang waktu dan tanpa juga harus menunjukkan 'batang hidung' mereka. Dari segi waktu, mereka unggul.
Demikian pula dari segi keamanan, keberadaan mereka susah untuk dilacak. Di sinilah letak tantangan bagi dunia pendidikan kita yang masih berkutat pada model lama: ruang kelas. Bagaimanapun, ruang kelas yang dibatasi ruang dan waktu tak akan mampu melawan gawai yang justru bekerja sebaliknya.
Oleh karena itu, model ruang kelas di sekolah-sekolah atau kampus-kampus kita tak dapat diandalkan sebagai satu-satunya media. Harus ada upaya pembaruan (bukan penghapusan) sembari mempertimbangkan relevansi gawai sebagai tren produk di era digital ini.
Dengan demikian, kontestasi yang dibangun nantinya bukan lagi ruang kelas (pendidikan kita) versus gawai (doktrin radikalisme), melainkan gawai versus gawai. Dengan cara seperti itu, dimungkinkan dunia pendidikan kita tak terseok lagi ketika menghadapi penyebaran doktrin radikalisme.
Bila tak demikian, amat mungkin pendidikan kita akan kalah menghadapi ancaman itu. Kekalahan tersebut bisa berdampak pada kebangkrutan fungsi pendidikan itu sendiri. Alih-alih menjadi benteng pencegahan, yang ada malah jadi sarang radikalisme itu sendiri.
Tak perlu heran bila nanti banyak peserta didik atau bahkan guru sekalipun yang terpapar oleh ideologi Islam radikal. Bagaimana tidak? Mereka, para radikalis, sudah menyertakan serangan udara (gawai), sementara pendidikan kita masih berkutat di darat (ruang kelas).
Ruang kelas baru
Ragam aplikasi yang tersaji pada produk gawai mestinya dimanfaatkan institusi pendidikan kita, sebagaimana kelompok radikalis memanfaatkannya. Kita bisa menggunakannya sebagai 'ruang kelas baru'.
Dengan langkah itu, diharapkan, konektivitas guru dan murid tak terputus oleh jam pelajaran dan sekat-sekat tembok yang terbatas. Di luar sekolah, mereka masih bisa melangsungkan transmisi pengetahuan dan berbagi gagasan atau pengalaman satu sama lain, termasuk ihwal paham keagamaan.
Strategi itu bisa disebut sebagai upaya kita merebut lahan yang selama ini digunakan kelompok radikal. Mereka, para radikalis, menyelenggarakan halaqah di internet, kita tak perlu malu menirunya. Bahkan, kita sebagai kesatuan bangsa yang sah punya sumber daya lebih jika dibandingkan dengan mereka (komunitas kecil bawah tanah) untuk menerapkan model-model yang lebih canggih.
Namun, untuk teknis penerapannya, ini bukan tugas yang mudah dan tentu juga bukan hanya 'PR' pemerintah. Kita yang merasa berkompeten di bidang ini perlu turut andil. Bagaimanapun, masa depan pendidikan ialah masa depan kita bersama.
Sumber: Media Indonesia
Penulis: Hodari Mahdan Abdalla Pengajar di Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem
.
Label:
Gawai,
Pendidikan,
Radikalisme