KELAS MENENGAH BERPOLITIK SIMBOL
Secara garis besar, kelas menengah Indonesia memiliki konstruksi berpolitik berbasis simbolis daripada ideologis. Hal itu bisa disimak dari munculnya berbagai indikator, seperti agamais, merakyat, maupun juga nasionalis. Keempat simbol itu kini ramai diperbincangkan warganet Indonesia di berbagai macam forum baik daring maupun luring.
Mereka berusaha untuk mengikatkan diri sebagai bagian dari gelombang besar simbol politik itu. Namun, penting dicatat bahwa alih-alih untuk mendorong dialog justru yang terjadi malah menjadi kalangan demagog. Kita menjadi kalangan kelas menengah yang euforia sekaligus pula menjadi histeria dengan pilihan simbol tersebut.
Berbagai macam peristiwa kekinian berusaha untuk dikaitkan dengan keempat simbol tersebut yang ujungnya ialah saling merundung dan mengintimidasi satu sama lain. Berbagai macam ekspresi digital kemudian muncul seperti halnya meme dan tagar yang ditautkan dengan gambar atau karakter tertentu.
Tentunya ini terlihat aneh manakala suatu peristiwa berusaha untuk dikaitkan dengan pemenuhan kepentingan politik tertentu. Ada upaya fabrikasi fakta dalam informasi yang esensinya ialah memenangkan dan mengalahkan antarsimbol tersebut yang tujuannya ialah meyakinkan publik.
Pertanyaan mendasar mengenai euforia simbol di kalangan kelas menengah di Indonesia ialah mengapa mereka berpolitik? Berpolitik bagi kalangan kelas menengah tidak lebih daripada sekadar perayaan terhadap simbolis, tetapi miskin idealis. Baik di sosial media maupun ruang sosial lainnya, perang komentar senantiasa terjadi satu sama lain.
Hal ini jelas sebagai bentuk perang urat syaraf dan juga perang proksi di ruang publik. Akan tetapi, publik tetap saja hanyut dalam percakapan simbolis itu. Secara bersamaan muncul massa yang mengaku nasionalis dan agamais, dengan serangkaian ayat dan retorika sejarah masa lampau untuk mengkritik massa kami dan juga massa yang mengaku dari kalangan merakyat yang tampil dengan mengimitasi figur idolanya.
Hal ini menjadi sangat kontras apabila dikaitkan dengan perilaku elite politik yang sebenarnya memainkan simbol hanya untuk permainan dan adu strategi politik saja. Ketika para elite politik yang berseberangan itu saling bersalaman dan bercanda di satu forum, lalu kenapa masyarakat kita yang justru menjadi fanatik dengan simbol itu.
Hal ini jelas sangat lucu karena kelas menengah menjadi keledai politik yang selalu bisa tereksploitasi emosi politiknya. Kondisi ini justru menguntungkan pihak elite politik untuk selalu berusaha memainkan simbol politik sebagai alat pendulang suara. Namun, ketika mereka mendapatkan kursi, simbol itu kemudian dilepaskan dan hanya menyisakan masyarakat sebagai korban.
Sebagai bagian dari mayoritas pemilih politik di Indonesia, keberadaan kelas menengah ini memang menimbulkan multitafsir. Mereka melek informasi, tetapi spontan terprovokasi dengan isu tertentu. Hal lain yang perlu dilihat dari kelas menengah ialah sekali terprovokasi, amarah selalu tersimpan di sanubari.
Oleh karena itulah, faktor identitas menjadi komoditas laku karena elite politik itu pintar memahami karakter kelas menengah itu lekat dengan simbol. Kelas menengah menjadi keledai bagi elite politik ketika mereka saling serang adu argumen untuk membuktikan bahwa simbol mereka ialah yang terkuat. Sekali lagi, simbolisme politik ini telah membawa pada gejala penyakit fanatisme akut di kalangan kelas menengah. Mereka tidak lagi bisa membedakan hitam dan putih karena sudah patuh pada simbol yang diusung.
Namun, pada faktanya hal itu terjadi. Polarisasi pun kembali menggema yang esensinya secara langsung mengarah pada Pemilu 2019.
Keberadaan hoaks di media sosial sekarang ini telah menjadi konstruksi berpolitik kelas menengah Indonesia. Meskipun mereka paham bahwa substansi informasi yang disebar dan dibagi itu dusta. Namun, seolah hal itu tidak menjadi soal karena yang penting ialah berusaha untuk melakukan eksklusi sosial terhadap individu/kelompok yang berbeda pandangan.
Fenomena itu telah menjadi lumrah bila sekarang ini percakapan di media sosial hanya diisi orang yang berpandangan sama. Hal itulah yang justru tidak menyehatkan secara politis bagi prospek demokrasi digital di Indonesia. Karena bukan lagi sebagai alat alternatif representasi politik, melainkan lebih mengarah pada alienasi.
Sumber: Media Indonesia
Penulis: Wasisto Raharjo Jati Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
.
Label:
Opini,
Pendidikan,
Politik