BISA menimang buah hati jelas menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Fitriana, 36. Kelahiran anak pertama setelah sebelumnya sempat dua kali keguguran menjadi berkah yang tak henti-henti ia syukuri. Terlebih, semakin hari, si kecil semakin menggemaskan.
Namun, ada satu hal yang merisaukannya. Terhitung sudah enam bulan lewat seusai dirinya melahirkan, ia masih saja harus memakai pembalut. Bukan untuk menampung darah nifas, sebab masa nifasnya sudah lama berlalu. Pembalut itu ia pakai untuk menghindari basah akibat mengompol.
"Memang sih, ngompol-nya hanya keluar ketika saya tertawa keras, terbatuk, bersin, atau saat mengangkat benda berat. Pipisnya juga bukan yang banyak gitu, tapi kalau nggak pakai pembalut pasti basah dan karena ngompol-nya berulang-ulang dalam sehari, lama-lama basahnya bakal nembus ke luar. Bikin enggak nyaman," tutur ibu rumah tangga itu mengisahkan pengalamannya.
Gangguan tersebut, lanjut dia, sudah dirasakan sejak bulan-bulan terakhir masa kehamilan. Semula ia berpikir masalah itu terjadi karena proses kehamilan dan akan membaik setelah melahirkan. Namun, ketika gangguan itu tetap berlanjut hingga melewati enam bulan usai melahirkan, ia pun mulai cemas.
Akhirnya, ia pun berkonsultasi ke dokter. Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, ia harus menjalani sejumlah rangkaian terapi untuk mengatasi persoalan itu.
Gangguan mengompol atau inkontinensia urine memang umum dialami perempuan hamil. Menurut dokter spesialis kandungan dan kebidanan dari Rumah Sakit Ibu dan Anak YPK Mandiri, Budi Iman Santoso, penyebabnya ialah melemahnya otot dasar panggul akibat hormon-hormon kehamilan, ditambah dengan pertambahan berat janin dalam perut.
"Salah satu fungsi otot dasar panggul ialah menyokong kandung kemih. Ketika otot-otot ini melemah, urine bisa keluar spontan terutama saat perut terkena tekanan, seperti saat batuk, bersin, atau tertawa," terang Budi pada seminar tentang inkontinensia urine di RS YPK mandiri, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Normalnya, gangguan tersebut membaik seusai melahirkan. Namun, pada sejumlah kasus, masalah tersebut terus berlanjut, seperti yang dialami Fitriana. "Ibu hamil yang mengalami inkotinensia urine, sekitar 80%-90% akan pulih dalam tiga bulan setelah melahirkan, dan 10%-20% akan berlanjut," papar staf pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM ini.
Pada kasus-kasus yang berlanjut ini, umumnya terjadi karena ada kerusakan pada otot dasar panggul. Kerusakan itu terjadi akibat peregangan berlebih pada saat kehamilan dan melahirkan.
Mengutip hasil penelitian disertasinya, Budi menjelaskan, kehamilan saja membuat perempuan berisiko 2,5%-7,5% untuk mengalami kerusakan otot dasar panggul. "Untuk kasus ini diduga faktor genetik turut berpengaruh."
Kemudian, proses kelahiran normal (per vaginam) membuat risiko itu bertambah jadi 17%. Risiko meningkat jadi 27% ketika perempuan melahirkan secara normal di usia lebih dari 35 tahun.
Risiko semakin besar bila berat bayi yang dilahirkan lebih dari 3.250 gram, dilakukan episiotomi (pemotongan pengguntingan kulit dan otot antara vagina dan anus) untuk memperlebar jalan lahir, serta durasi kala dua persalinan lebih dari satu jam yang membuat ibu mengejan terlalu lama. Kala
dua ialah bagian persalinan yang dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 sentimeter) dan berakhir dengan lahirnya bayi. "Tiga variabel itu membuat risiko kerusakan otot dasar panggul mencapai 68%," kata Budi.
Latihan kegel
Budi menerangkan, kerusakan otot dasar panggul menyebabkan disfungsi otot dasar panggul. Gejalanya beragam tergantung tingkat kerusakan. Yang tergolong ringan ialah mengompol. Pada kerusakan yang lebih berat, penderita tidak bisa menahan kentut, lalu tidak bisa menahan buang air besar bentuk cair, dan tidak bisa menahan buang air besar bentuk padat.
"Pada kasus yang lebih parah, bagian dari organ rahim, dubur, bisa turun hingga keluar dari vagina," terang Budi.
Kasus-kasus tersebut umumnya terjadi akibat kerusakan otot dasar panggul yang disertai robekan grade 3-4. Untuk kasus-kasus berat seperti itu, operasi menjadi satu-satunya langkah korektif.
"Namun laporan di Amerika, 11% dari perempuan yang sudah dioperasi untuk mengatasi masalah tersebut mengalami kekambuhan. Jadi, pencegahan lebih diutamakan, antara lain dengan kelahiran melalui operasi caesar bagi perempuan yang berisiko tinggi," jelas Budi.
Adapun untuk kasus yang ringan, bisa diatasi dengan senam kegel. Senam kegel juga bisa menjadi langkah pencegahan bila dilakukan rutin sejak kehamilan semester kedua, terlebih bila ditambah dengan senam kehamilan. "Selain itu, ada juga terapi laser CO2 yang bisa membantu mempercepat pemulihan," pungkasnya.
Sumber: Media Indonesia
https://goo.gl/dt9FWc
*-*