MENGHALAU NARKOBA DARI GENERASI MUDA

Meski hanya 1,6% dari total penduduk Indonesia, biaya sosial ekonomi yang harus dikeluarkan negara akibat penyalahgunaan narkoba sangat tinggi. Laporan Survei Perkembangan Penyalah Guna Narkoba 2014 menyebutkan perkiraan kerugian biaya sosial ekonomi mencapai Rp63,1 triliun pada 2014.

Diperkirakan, biaya sosial ekonomi yang akan dikeluarkan akibat narkoba pada 2020 akan meningkat 2,3 kalinya atau menjadi Rp143 triliun jika tidak ada intervensi serius untuk menurunkan tingkat penyalahgunaan. 

Tingginya biaya sosial ekonomi yang harus ditanggung tidak terlepas dari karakteristik penyalah guna narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, dari sekitar 4,2 juta penyalah guna narkoba, 75% di antaranya masuk dalam kalangan usia produktif. 

Di antara kalangan usia produktif itu, 22% di antaranya berstatus sebagai pelajar. Kedua kelompok itu menjadi sasaran empuk para bandar karena dua alasan berbeda.

Peredaran narkoba berkembang dengan subur di kalangan pekerja karena mereka memiliki kemampuan secara fi nansial, tetapi tidak pandai menghadapi tekanan kerja yang tinggi. Jenis narkoba yang cenderung digunakan pun yang mampu mempertahankan kebugaran tubuhnya. 

Sementara itu, peredaran narkoba di kelompok pelajar/ mahasiswa bisa terjadi dengan memanfaatkan kondisi psikologis mereka. Kelompok tersebut memiliki rasa keingintahuan dan ego sangat tinggi, sedangkan di sisi lain harus beradaptasi dengan tekanan kelompok sebaya agar bisa diterima dengan baik. 

"Kebanyakan awalnya coba-coba lalu berlanjut ketagihan. Namun, ada juga beberapa yang menjadi korban karena paksaan," ujar Kepala Humas BNN Slamet Pribadi kepada Media Indonesia di Jakarta, Senin (26/10).

Situasi itu tak bisa dibiarkan karena akan membebani pembangunan. Sejumlah strategi disiapkan pemerintah untuk menurunkan angka penyalahgunaan narkoba. Prinsipnya ialah dengan menyeimbangkan kinerja upaya pemberantasan, pencegahan, dan rehabilitasi. Masalah narkoba tidak akan bisa ditanggulangi jika ketiga elemen tersebut tidak berjalan bersamaan.

"Beberapa waktu lalu memang pemberantasan yang berjalan lebih dulu, tapi sekarang sudah mulai diseimbangkan. Antara pemberantasan, pencegahan, dan rehabilitasi tidak boleh ada saling mendahului," sahut Slamet. 

Satker pencegahan 

Ibarat pepatah mencegah lebih baik daripada mengobati. Kerugian yang ditanggung jauh lebih sedikit ketimbang saat korban sudah mulai kecanduan. Dalam laporan yang sama disebutkan, media biaya jika jatuh sakit akibat narkoba, terutama bila harus dirawat inap, bisa menghabiskan sekitar Rp6 juta per orang per tahun. Sementara itu, satuan biaya yang dihabiskan untuk konsumsi narkoba bisa mencapai Rp10,8 juta per orang per tahun.

BNN kemudian membentuk satuan kerja pencegahan demi membangkitkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya narkoba. Sejumlah program dilaksanakan dengan menggandeng berbagai pihak, terutama orangtua, guru, pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat. Di samping itu, aktivitas kampanye antinarkoba juga memasuki dunia maya. 

"Ada gambar, ada visualisasi, dan ada permainan sehingga pelajar lebih tertarik. Sayang, media banyak yang lebih tertarik dengan berita penggerebekan," cetus Slamet.

Laporan yang sama juga mengungkapkan bahwa banyak penyalah guna, yang notabene korban, kesulitan mengakses fasilitas rehabilitasi. Selain masih kurangnya Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), informasi mengenai rehabilitasi ini belum tersebar secara merata. 

Mereka yang ingin tobat akhirnya ragu karena mengkhawatirkan biaya pengobatan yang harus ditanggung. Terkait hal ini, Slamet menyatakan hal tersebut sebagai domain dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. 

"Dari kami, kami ingin memperbaiki implementasi rehabilitasi di lapangan. Mereka tetap harus diproses hukum karena melanggar UU, tapi tetap direhabilitasi," tukasnya.(Din/S-1) MI
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya