Oleh : Stella Elsa Gratia Plena Reporter Cilik 2014 Semarang
Seorang anak perempuan 13 tahun sedang mematut diri di depan cermin sambil mencubit-cubit gemas pipinya. Ia tidak sedang bersolek. Mukanya muram dan bibirnya dipilin membentuk raut muka kesal. “Ih.. sebel, sebel!“ ujar gadis itu.
Namanya Lungit. Ia sering diejek temanteman karena pipi gembulnya ditambah potongan rambut pendek sehingga menambah kesan lucu dirinya. Ia sungguh tidak suka dengan ucapan temantemannya. Ingin rasanya Lungit membantah. Namun, ia takut akan semakin diejek oleh temantemannya.
“Pibul, pibul.. si Pipi Gembul lewat..“ ujar teman sekelasnya.Mendengar hal itu, pipi Lungit langsung memerah.
*** Kasihan Lungit. Ia hanya bisa pasrah dan pergi menjauh. Pada saat ia sedang sedih, ada satu sahabat Lungit yang baik, bijaksana, dan suka memberikan motivasi kepada dirinya. Lia namanya.
“Huu..hu..hu.. . Aku sedih.Temanteman mengejek pipiku lagi..hu..hu..hu..“ ujar Lungit sambil menekannekan pipinya.
“Sudahlah, jangan menangis.Terkadang seseorang mengejek bukan karena dengki ataupun benci justru karena orang yang diejek itu mempunyai su atu keunikan yang ti dak dimiliki orang lain. Mungkin sebenarnya mereka gemas dan sangat menyayangi kamu karena keunikanmu,“ Ujar Lia sambil menunjuk kedua pipi gembul milik Lungit.
* * * Hari terus berganti. Sikap temanteman Lungit kian menjadi. Lungit sudah tidak tahan lagi. Maka, ia membeli masker kain bermotif polkadot dan memakainya ke sekolah guna menutupi kedua pipinya itu.
“Ahh...pasti Lungit sengaja memakai masker karena malu dengan pipinya yang seperti bakso itu“ celetuk Evan, teman Lungit yang paling sering mengejek dirinya.
Kelas menjadi riuh dipenuhi gelak tawa. Pipi Lungit yang tertutup masker menjadi merah padam. Ia mengepalkan tangan. Matanya berkacakaca menahan tangis.
“Cukup!“ Ujar Bu Suli dengan nada menghardik.
“Anakanak. Saling mengejek itu tindakan yang sangat tidak terpuji, jangan diulangi lagi!“ Sambung Bu Suli.
Lungit kembali ke tempat duduk dengan tertunduk lesu.Sepulang sekolah, Lungit memutuskan pergi ke apotek.
“Permisi Pak, saya ingin membeli obat untuk menghilangkan pipi gembul ini ada?“ tanya Lungit.
“Beres, dek. Ini obatnya.“
Ujar Bapak pemilik apotek sambil menyodorkan sebutir kapsul berwarna merah muda.
Hati Lungit gembira sekali.Malam harinya, ia meminum obat tersebut dengan sejuta harapan. Keesokan harinya ia segera bangun dan mandi. Ia terkejut saat berganti baju di depan cermin.
“Waaa!!! Siapa ini!!! “ Ia ter kejut melihat pantulan diri nya di cermin. Pipinya yang semula gembul, berubah menjadi tirus.*** Saat masuk kelas, semua mata tertuju padanya.
“Cie... anak baru,“ ujar salah satu temannya.
“Bukan. Aku bukan murid baru. Aku Lungit,“ ucap nya.
“Lungit si pipi gembul!“ Sambung Lungit sambil menariknarik pipinya yang sudah tirus.
“Lungit itu unik dan cantik.Pipinya membuat kami gemas.Ia juga pintar. Siapa kau? Kami tidak mengenalmu!“ Ujar Evan.
“Ini aku Lungit. Sungguh! Lungit Laksita, “ ujar Lungit sambil menepuknepuk pundaknya sendiri. Apa boleh buat, hari itu tidak berjalan sesuai harapan Lungit. Bahkan, Lia tidak mau bermain dengannya. Ia sedih dan sangat menyesal dengan perbuatannya yang gegabah. Maka, sepulang sekolah, Lungit kembali ke apotek itu.
“Permisi. Pak, saya mau tanya ada obat yang bisa membuat pipi saya gembul lagi?“ tanya Lungit kepada bapak pemilik Apotek.
“Ini yang kemarin, ya? Tenang saja. Itu dosis obatnya hanya untuk satu hari. Besok pipi mbak sudah kembali seperti semula, kok,“ ujarnya.
*** Keesokan paginya ia datang dengan pipi yang gembul dan lucu seperti semula.
Pada saat ia masuk kelas, semua mata kembali tertuju pada dirinya.
“Lungit.. kemarin ada yang mengaku sebagai dirimu. Kemarin kelas ini menjadi sepi tanpa kehadiranmu,“ ujar Evan.
“Memang benar itu aku.Habisnya kesal karena kalian semua mengejek diri pipiku ini,“ suara Lungit bergetar.
“Maafkan kami semua, Ngit.Kami janji tidak akan pernah mengejek dirimu lagi,“ ujar Evan seraya mengulurkan tangannya kepada Lungit.
“Iya, bukan masalah,“ Lungit menerima uluran tangan Evan dengan raut bahagia. Mereka berdua bersalaman diikuti temanteman Lungit yang lain.
Mereka semua bersalaman. Lungit tersentuh dengan tingkah kawannya itu. Ia memandang Lia. Mereka berdua saling mengerlingkan mata. Ia teringat ucapan Lia, seseorang mengejek bisa jadi bukan karena dengki ataupun benci, tapi karena keunikan yang tidak mereka miliki.
Lungit sadar bahwa pipi gembulnya ialah karunia Tuhan yang sangat berharga serta menjadi ciri khasnya.
Sejak itu, Lungit selalu gembira dengan apa yang dimilikinya. Ia tidak pernah merasa malu dengan pipi gembulnya lagi. Karena ia tahu, itu merupakan karunia Tuhan yang luar biasa. (M-1)