DULU PAHLAWAN DEVISA, KINI PEMBERDAYA


Kesuksesan bukan cuma milik majikan, melainkan juga mereka yang pernah menjadi pelayan.


Di dalam ruang kelas di Universitas Tirtayasa, Serang, Nuryati Solapari, 36, menyisipkan kata-kata penyemangat untuk mahasiswanya.



“Saya merasakan betul manfaat dari ilmu. Ketika punya ilmu, harta akan mengikuti,” kata dia. Ia menyadari tidak semua mahasiswa berasal dari kalangan berada.


Bila melihat penampilan dosen Fakultas Hukum Untirta itu, mungkin takkan ada yang mengira ibu satu anak itu mantan tenaga kerja Indonesia (TKI). Pada 1998 ketika krisis ekonomi melanda Tanah Air, Nur begitu dia akrab disapa mendapat predikat lulusan terbaik dari sekolah menengah atas (SMA) tempatnya belajar.

Hasratnya melanjutkan studi ke perguruan tinggi menggebu-gebu, tetapi kondisi ekonomi orangtua membuat harapan itu harus kandas.

Dalam kondisi sedih, Nur memilih ke rumah neneknya di Desa Samparwadi, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten.

“Di sana termasuk basis TKI, saya jadi mendapat ide untuk pergi jadi TKI buat mengumpulkan uang untuk kuliah,” kisahnya ketika dijumpai di Serang, Senin (18/1).

Tentu saja karena banyaknya penganiayaan dan kasus lain yang menimpa TKI, orangtuanya semula tak menyetujui. Penghinaan pun ditelannya saja. Banyak yang makin menyangsikan fungsi pendidikan karena Nur yang lulusan terbaik di SMA-nya pun malah mau jadi pembantu di luar negeri.

Dia memilih membekali dirinya dengan persiapan, salah satunya ialah dengan menyulam nomor-nomor telepon penting di dua kerudung yang dipakainya, dengan menggunakan sandi hanya untuk berjaga-jaga bila semua dokumennya dipegang majikan.

Di penampungan perusahaan jasa tenaga kerja indonesia (PJTKI), dia menyadari bahwa 99% TKI yang berangkat mengidam-idamkan membangun rumah atau mengumpulkan harta benda.

Tidak ada satu pun calon TKI saat itu yang seperti dirinya, berniat pergi demi bisa membiayai kuliah. Dia justru berniat hanya akan menjadi TKI selama dua tahun, dengan penghasilannya di tahun pertama khusus dikirim untuk ibunya dan gaji di tahun kedua baru ditabung untuk kuliah.

Godaan pun sempat datang. Hal itu diakuinya. Majikan yang merupakan sepasang suami-istri dokter puas pada hasil kerja dan pembawaannya sehingga memintanya untuk melanjutkan kontrak hingga 10 tahun.

“Saya sempat bimbang, tapi kita harus fokus sama tujuan. Rugi kalau jadi TKI 10 tahun, ilmu segitu saja tidak bertambah, hanya dapur, sumur, kasur. Berbeda kalau menambah ilmu, saya yakin penghasilan juga akan mengikuti,“ akunya.

Pada 2001, setelah pulang dari Arab Saudi, Nur akhirnya berkuliah di Fakultas Hukum Untirta, dilanjutkan dengan pendidikan advokat pada 2005. Mulai 2006 dia menjadi tenaga pengajar di universitas negeri di Banten tersebut.

Semangatnya di dunia pendidikan belum pupus. Perempuan yang mengajar hukum ketenagakerjaan itu pun lulus S-2 dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Kini Nur sedang di tahap akhir studinya sebagai mahasiswa S-3 di Universitas Padjadjaran.

“Masih banyak yang ingin saya pelajari, inginnya mendalami hubungan internasional dan kajian perempuan biar bisa mendukung perhatian saya terhadap TKI,“ kata dia bersemangat.

Pendidikan katrol kehidupan 

Pendidikan bukan segala-galanya. Namun, segala-galanya berawal dari pendidikan. Itu yang diyakininya. Selama pendidikan di Indonesia belum ramah bagi warga kurang mampu, orang akan lebih mencari peluang menjadi pembantu ke luar negeri karena gajinya lebih riil daripada di Indonesia, tanpa memerlukan ijazah atau keahlian khusus. Hal itu disayangkan Nur karena dia meyakini banyak potensi yang dimiliki TKI.

“Mereka punya potensi keberanian karena ada berita nasib mengerikan TKI pun mereka tetap mau berangkat. Mereka punya pengalaman, kemampuan bahasa dari negara tempat bekerja, dan daya juangnya tinggi. Andai diarahkan, mantan TKI bisa berkontribusi ke indeks pembangunan manusia,” pikirnya. 

Hal sama diyakini Siti Rahayu, mantan TKI informal yang sempat delapan tahun bekerja di Taiwan. Di negara yang banyak usia nonproduktif itu, dia bertugas mengurusi lansia.

Ketika 2006 berangkat ke Taiwan, dia berniat fokus bekerja lantas pulang dan penghasilannya dijadikan modal usaha. Total hanya Rp140 juta dia bawa pulang ketika kontrak kerja pertamanya berakhir dan itu tidak cukup untuk modal usaha.

Majikannya meminta dia kembali bekerja di Taiwan dan disetujui asal dia dipekerjakan tanpa perantara agen supaya tidak perlu ada pemotongan penghasilan. Gaji dari kontrak pertamanya diinvestasikan di kelapa sawit dan karet.

Ayu lalu memutuskan mendaftar kuliah di Universitas Terbuka. Ketika bertemu dengan sesama mahasiswa, itulah jalan usaha terbuka baginya.

“Saya kan jadi TKI tidak pernah keluar rumah, jadi pas ketemu mahasiswa lain itu penampilan masih kampungan sekali dan jadi merasa terasing. Ada yang memperkenalkan produk kecantikan yang saya coba bagus dan kemudian promosikan ke orang-orang lain,“ tuturnya dalam percakapan jarak jauh dari Taiwan.

Pulang jadi pengusaha Mulanya Ayu menekuni bisnis produk kecantikan yang menggunakan sistem multilevel marketing dan konvensional di sela kesibukannya sebagai TKI dan mahasiswa. Dalam sehari, dia sering hanya bisa tidur 2-3 jam saja, waktu istirahat dari mengurus anak di rumah dipakai untuk berbisnis, lalu malamnya setelah pukul 00.00 waktu setempat, dia manfaatkan untuk belajar.

Karena menyadari waktu libur sehari sebulan sebagai TKI menghambat bisnisnya yang selain berjualan juga memberikan perawatan kecantikan dan pengecekan kesehatan, dia memilih berhenti menjadi TKI dan fokus mengembangkan bisnis. “Akhirnya saya kuliah, keluarkan uang tapi pendapatan malah bertambah,“ ungkapnya senang.

Kemarin, Ayu dalam perjalanan dari Taiwan ke Indonesia karena hari ini ia berencana membuka cabang tempat perawatan kecantikan di kawasan Cempaka Putih. “Karena saya dari TKI, ingin ajak semua TKI pulang ke Indonesia jadi pengusaha, jangan jadi TKI lagi. Surga kita harusnya ada di Indonesia,“ harapnya. (M-1)



Sumber : Media indonesia
Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya