PEMENUHAN GIZI DI SERIBU HARI PERTAMA

KURANGNYA asupan gizi akan berpotensi menurunkan capaian ketiga dimensi pembangunan manusia sekaligus, yakni kesehatan, pendidikan, dan kemampuan daya beli. Khususnya pada anak balita, kurangnya asupan gizi menyebabkan menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terserang penyakit. 

Kekurangan gizi juga akan mendistorsi tumbuh kembang mereka sehingga menyulitkan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat untuk pe­nyiapan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Untuk itu, dalam rangka Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap 25 Januari, kita kembali diingatkan pentingnya asupan gizi, terutama untuk balita.

Pemenuhan gizi pada 1.000 hari pertama dalam kehidupan diyakini sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Dokter spesialis gizi klinik dari Dapartemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fiastuti Witjaksono mengatakan 1.000 hari pertama, yakni sejak masa awal dalam kandungan hingga anak berumur dua tahun. 

“Kekurangan zat gizi di 1.000 hari pertama kehidupan tidak hanya berdampak pada status gizi usia anak, tapi juga status gizi pada usia muda nantinya. Dampaknya tidak kelihatan dalam jangka pendek, tapi ketika besar dia berpotensi terkena berbagai penyakit,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta, selasa (24/1).

Berkaitan dengan itu, salah satu kebijakan nasional dalam menanggulangi permasalahan gizi di Indonesia ialah melalui perbaikan gizi yang fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan. Gerakan itu mengedepankan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas itu.

Sasaran yang ingin dicapai ialah menurunkan proporsi balita pendek atau stunting, tidak ada kenaikan proporsi anak dengan gizi berlebih ataupun kelebihan berat badan atau obesitas. Sasaran lainnya, menurunkan angka ibu usia subur yang menderita anemia dan meningkatkan persentase pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. 

Direktur Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardi mengatakan dalam upaya meningkatkan gizi masyarakat, pemerintah setiap tahun melakukan pemantauan status gizi secara berkala. Dengan pemantauan itu diharapkan, diperoleh informasi yang akurat untuk menentukan tindakan intervensi.

Dijelaskan Doddy, persentase balita dengan gizi buruk dan tumbuh pendek (stunting) mengalami penurunan. Penilaian status gizi pada 2015 menyebut 3,8% balita mengalami gizi buruk. Angka itu turun dari tahun sebelumnya, yakni 4,7%. Begitu pun angka stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar terakhir pada 2013, stunting di Indonesia mencapai 37,2%, perlahan menurun pada tahun berikutnya berdasarkan indikator kesehatan nasional angka stunting menjadi 33%. 

Pada 2015, dari hasil survei di 150 kabupaten/kota melalui pemantauan status gizi, angka ­stunting kembali turun jadi 28,9%. Menurutnya, terkait dengan status gizi, permasalahan yang dihadapi Indonesia ialah beban ganda malnutrisi atau double burden of malnutrition. Keadaan itu ialah di satu sisi masih terjadi kekurangan gizi serta gizi buruk, di sisi lain ada anak-anak yang menderita obesitas atau kegemukan.

Solusi menangani permasalahan gizi double burden of manutrition, tutur Doddy, melalui intervensi pemerintah dengan cara meningkatkan status gizi utamanya bagi balita, anak-anak, dan ibu hamil yang kekurangan energi kronis (KEK). “Dengan pemberian pendamping makanan tambahan (PMT) berupa biskuit,” ujar Doddy. 

Di sisi lain, untuk mengatasi permasalahan gizi, tidak cukup hanya dengan intervensi pemberian makanan tambahan, tetapi juga perlu didukung langkah lainnya, yakni gerakan masyarakat yang sadar gizi.

Untuk itu, perlu pendidikan mengenai gizi sejak dini pada ibu, anak, dan remaja putri pada saat memasuki usia pernikahan. Pendidikan gizi, ujar Doddy, berupa penyuluhan yang melibatkan kader-kader posyandu, kelompok masyarakat, serta petugas kesehatan. Itu dimulai dari pola konsumsi makanan beragam dan berimbang, perlunya pemantauan berat badan secara berkala, serta rutin melakukan aktivitas fisik untuk mencegah bertambahnya prevalensi anak dengan obesitas. 

Peneliti dari Departemen Ilmu Gizi Universitas Harvard Anuraj H Shankar mengakui pendidikan gizi melalui pendekatan keluarga dan masyarakat perlu dimaksimalkan.

Buah dan sayur

Sementara itu, Doddy mengakui gangguan gizi tidak hanya disebabkan kekurangan zat gizi makro seperti karbohidrat dan protein. Namun, juga bisa dikarenakan kekurangan gizi mikro seperti zat besi, vitamin, dan seng. Masyarakat Indonesia kurang memerhatikan asupan gizi mikro. Asupan gizi mikro banyak terdapat pada sayur dan buah. 

Namun, berdasarkan data Diretorat Gizi Masyarakat Kemenkes, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia untuk sayur dan buah, masih di bawah 10%. Oleh karena itu, dalam acara peringatan Hari Gizi Nasional ke-57 yang diselenggarakan besok, Kemenkes mendorong agar masyarakat rutin mengonsumsi sayur dan buah sebagai bagian dari program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. 

“Seperti kita ketahui, kekurang­an zat gizi mikro bisa berdampak pada tingginya prevalensi anemia, kekurangan vitamin A, ataupun zinc,” tukas Doddy. (S-1)

Sumber: Media Indonesia
https://goo.gl/qBxoUq
***


Share this article :

Klik Gambar dibawah ini untuk melihat Berita lainnya